STRATEGI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN PEMBANGUNAN DESA DI JAWA TIMUR
“Akuntabilitas
untuk Meningkatkan Partisipasi dan Muwujudkan Kesejahteraan Masyarakat Desa”
Disusun oleh:
Ali
Sahab, S.IP., M.Si[1]
Abstraksi
Keberhasilan pemerintahan desa
bisa dilihat dari keberhasilan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kesejahteraan
masyarakat desa akan terwujud jika pemerintahan desa dalam hal ini Kepala Desa
dalam menjalankan pemerintahannya khususnya pengelolaan keuangan menerapkan
prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika transparansi dan akuntabilitas
diterapkan, maka akan menimbulkan kepercayaan di kalangan masyarakat desa. Kepercayaan terhadap Kepala Desa akan
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam
setiap kegiatan merupakan kunci sukses dari penyelenggaraan pemeritahan desa.
Kepala Desa tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, dipastikan semua program
kerja yang disusun tidak bisa dilaksanakan. Partisipasi penting karena di era
demokrasi ini menjadi sebuah keniscayaan untuk melibatkan masyarakat dalam
setiap pembangunan. Akuntabilitas juga akan berpengaruh pada kesejahteraan
masyarakat, ketika Kepala Desa mampu melaksanakan pemerintahan secara bersih
dan akuntabel, semua program pasti sampai pada masyarakat desa.
Sesuai amanah UU No.6 Tahun 2014 tentang
Desa, dan diperkuat dalam PP 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber
dari APBN. Dana Desa adalah dana desa yang bersumber dari APBN yang
diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota dan
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Melalui
empat bidang tersebut di atas, pengelolaan ADD maupun DD diharapkan memang
untuk kesejahteraan masyarakat desa. Namun dari penyelenggaraan Pemerintahan
Desa selama ini terutama dana dari ADD masih banyak hal yang perlu diperhatikan
untuk keberlanjutan program. Seperti di Kabupaten Sidoarjo dari beberapa
tahapan dalam pengelolaan anggaran mulai dari perancangan, penganggaran,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan. Dari
keenam tahapan tersebut, yang dinilai paling sulit oleh Kepala Desa yaitu
pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban ini dinilai sulit karena dalam
penggunaan anggaran di tingkat desa yang diwujudkan dalam laporan kegiatan dan
laporan keuangan kurang menjadi sebuah habbit.
Hal ini dirasa perlu karena tuntutan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, salah satunya dengan akuntabilitas dan transparansi (good governance). Selain pertanggungjawaban Kepala Desa mayoritas
juga mengungkapkan bahwa penggunaan dana ADD paling besar yaitu untuk perbaikan
sarana publik. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan khususnya infrastruktur di
tingkat desa masih memprihatinkan. Kendala yang banyak dihadapi yaitu minimnya
dana yang didapat oleh desa, selain seringnya ketidakcocokan program prioritas
di tingkat desa dengan kabupaten. Sehingga dana pun juga harus ditingkatkan
sehingga program-program bisa terlaksana dengan baik, dan masyarakat desa
semakin sejahtera.
Lahirnya
UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memang sudah lama dinantikan oleh aparat desa. Selama
ini desa masih dipandang sebelah mata dan kurang diperhatikan. Hal ini sangat
ironis, padahal desa merupakan ujung tombak pembangunan negara. Namun realita
yang ada pembangunan di desa masih terfokus pada daerah perkotaan dengan alasan
sebagai pusat perekonomian. Masih banyaknya pembangunan desa yang masih kurang
tidak hanya di luar Jawa, di Jawa saja masih banyak pembangunan desa yang masih
sangat kurang, terutama pembangunan infrastruktur seperti jalan. Dengan
semangat UU Desa maka diharapkan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa
bisa diminimalisir. Perdebatan panjang mewarnai lahirnya UU No.6 Tahun 2014,
selama 7 tahun DPR RI menggodok dan baru bulan Desember 2013 disetujui. Dengan
disetujuinya oleh DPR RI, akhirnya oleh Presiden disahkan tanggal 15 Januari
2014.
Implikasi
logis diundangkannya UU Desa memberikan kewenangan lebih besar pada Kepala Desa.
Beberapa implikasi antara lain:
1. Alokasi
Dana lebih besar
Sesuai
Pasal 72 ayat 1 ada tujuh sumber pendapatan desa yaitu (a) pendapatan asli Desa
terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong,
dan lain-lain pendapatan asli Desa. (b) Alokasi APBN, (c) bagian dari hak pajak
daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota. (d) ADD yang merupakan bagian dari
dana perimbangan yang diterima Kabupaten/kota. (e)bantuan keuangan dari APBD
Provinsi dan APBD Kab/Kota. (f) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari
pihak ketiga. (g) lain-lain pendapatan Desa yang sah.
ADD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% dari dana perimbangan
yang diterima Kab/Kota dalam APB Daerah setelah dikurang Dana Alokasi Khusus.
Menurut Budiman Sudjatmiko yang menjadi Wakil Ketua Pansus RUU Desa 10 persen
dari dana perimbangan yang diterima Kab/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana
Alokasi Khusus sekitar Rp. 104,6 triliun dibagi 72.000 Desa, sehingga total
Rp.1,4 miliar/tahun/desa. Namun hal ini juga disesuaikan dengan kondisi
geografis, jumlah penduduk, jumlah masyarakat miskinnya. Kondisi geografis akan
mempengaruhi nilai rupiah, karena semakin sulit/jauh suatu daerah harga
barang-barang juga berbeda dengan daerah yang kota/daerah yang relatif dekat
dengan kota. Dengan alokasi dana yang
besar berimplikasi pula pada penghasilan Kepala Desa, selain mendapatkan
penghasilan tetap, Kepala Desa juga memperoleh jaminan kesehatan dan penerimaan
lainnya yang sah sesuai dengan Pasal 66.
2. Kewenangan
Kepala Desa
Kepala Desa mempunyai kewenangan yang
luas dalam mengatur dan menetapkan sumber pendapatan Desa sesuai Pasal 72. Sehingga
diperlukan Kepala Desa yang mampu menyusun anggaran Desa untuk kesejahteraan
masyarakatnya. Yang perlu diantisipasi dari kewenangan ini yaitu munculnya
raja-raja kecil yang merasa secara penuh berhak mengelola Desa. Dampak lainnya
yaitu jika Kepala Desa tidak dibekali dengan kemampuan tata kelola
pertanggungjawaban keuangan Desa maka bisa terjebak pada penyelewengan anggaran
Desa (Korupsi). Ini perlu diantisipasi sehingga tidak terjadi desentralisasi
korupsi.
3. Masa
Jabatan
Sesuai dengan Pasal 39 UU No.6 Tahun
2014 tentang Desa ini masa jabatan Kepala Desa 6 tahun dan bisa menjabat paling
banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut. Hal yang sama dengan masa jabatan Badan Permusyaratan Desa
(BPD) yang sebelumnya hanya boleh menjabat paling banyak dua kali jabatan (UU
No.32 Tahun 2004). Dampak positif dari bertambahnya masa jabatan ini yaitu
keberlanjutan program, sehingga Kepala Desa mempunyai waktu yang cukup untuk
menuntaskan program pembangunan yang dirancangnya. Dampak negatifnya adanya
peluang yang besar untuk penyalahgunaan anggaran Desa (potensi korupsi),
sehingga bisa memunculkan juga persaingan yang ketat untuk menjadi Kepala Desa.
Hal ini tidak jarang selalu diikuti dengan konflik para kandidat.
4. Penguatan
Fungsi BPD
Sesuai dengan Pasal 55 UU Desa yang
baru, BPD mempunyai fungsi, (a) membahas dan menyepakati Rencana Peraturan Desa
bersama Kepala Desa, (b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa,
(c) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Dalam UU Desa ini ada fungsi
tambahan dari BPD yaitu fungsi pengawasan kinerja Kepala Desa. Hal ini semakin
memantabkan fungsi BPD sebagai legislatif di tingkat Desa. Pada UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah fungsi BPD hanya menetapkan peraturan desa
bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Relasi
Kepala Desa dan BPD juga harus bisa harmonis untuk keberlanjutan progam Desa
dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan
implikasi logis di atas ada beberapa kalangan yang memang meragukan akan
berjalannya UU Desa ini. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah mampu
Kepala Desa mengelola keuangan Desa, mulai dari penyusunan, pelaksanaan dan
sampai pada proses pertanggungjawaban. Dengan dana yang cukup besar dan jika
Kepala Desa tidak mampu maka yang terjadi adalah kemadekan pembangunan Desa.
Kemandekan ini terjadi karena Kepala Desa tidak mampu menyusun anggaran dan
pengajuan program sehingga walaupun mempunyai dana besar namun tidak bisa
digunakan karena kendala adminsitrasi.
Dengan UU Desa ini juga
terbukanya peluang aparat Desa melakukan penyelewengan anggaran Desa. Besarnya
anggaran yang ada perlu mekanisme pengawasan yang ketat tentang penggunaan
anggaran. Jika ini tidak bisa terlaksana bukan tidak mungkin aparat Desa akan
menjadi pelaku-pelaku korupsi. Dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan Kepala Desa mulai dari perancangan,
penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan.
Dari proses pentahapan
di atas kita bisa belajar dari hasil survey di Kabupaten Sidoarjo berkaitan
dengan pengelolaan keuangan desa. Dari Kepala Desa yang disurvey tahapan yang
paling banyak dikeluhkan yaitu pertanggungjawaban yaitu sebesar 24,50 persen.
Keluhan kedua yaitu tahapan pelaporan sebesar 22,60 persen. Keluhan yang cukup
besar juga yaitu pada tahapan penganggaran yaitu sebesar 20,80 persen. Di luar
tiga besar tahapan yang ada, yang dikeluhkan paling banyak juga pada
perancangan 16 persen, Penata usahaan 11,30 persen dan pengawasan keuangan
sebesar 4,7 persen.
Dari data di atas
terlihat bahwa di Kabupaten Sidoarjo yang sudah melaksanakan Anggaran Dana Desa
(ADD) mengalami kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban ini
dinilai sulit karena harus sesuai dengan standar akuntasi yang ada. Sehingga di
Kabupaten Sidoarjo Kepala Desa yang
mayoritas berpendidikan SMA (54,70%) mengalami kesulitan. Ini sebagai contoh
kecil daerah Sihoarjo yang relatif sudah bisa dikatakan SDM-nya cukup tinggi,
bagaimana dengan Desa-Desa lainnya seperti di daerah Madura. Kepala Desa dalam
pertanggungjawaban banyak mengeluhkan berkaitan dengan pembuatan laporan
pertanggungjawaban pembelanjaan barang, dimana harus membeli di toko yang
mempunyai NPWP. Seberapa banyak toko yang mempunyai NPWP, apalagi jika Desa
tersebut ada di pelosok. Sehingga proses pertanggungjawaban dinilai lebih ribet
daripada pelaksanaan program sendiri.
Penyusunan anggaran
juga menjadi titik kelemahan Kepala Desa di Kabupaten Sidoarjo. Selama ini
mereka tidak membayangkan akan melaksanakan tugas administrasi yang begitu
rumit, ditambah lagi nanti jika ada alokasi dana yang lebih besar sebagai
implikasi UU Desa. Pendidikan Kepala Desa di Sidoarjo yang menempuh S1 hanya
34,90 persen. Sehingga apa yang ada di benak Kepala Desa, dimana sebelumnya
Kepala Desa tugasnya hanya tukang stempel perlu adanya perubahan secara
bertahap.
Untuk mengatasi apa
yang menjadi keluahan di atas maka Kepala Desa harus menguasai standar
akuntansi, hal ini bertujuan untuk menghindari laporan pertanggungjawab yang
tidak sesuai ketentuan. Selain Kepala Desa, Bendahara Desa juga perlu
mendapatkan pelatihan akuntansi untuk membantu tugas pelaporan Kepala Desa. Selama
ini memang sudah ada Bintek bagi Kepala Desa, namun perlu diperkuat lagi tim
pendamping di tiap desa. Tim Pendamping di tingkat Desa bisa diambil dari warga
Desa dari Sarjana Akuntansi ataupun Guru-Guru yang dilatih standart akuntansi.
Penguatan pada
pelaporan dan pertanggungjawaban ini penting karena untuk mewujudkan
akuntabilitas atas pelaksanaan program-program Desa. Akuntabilitas yang
disertai transparansi penggunaan anggaran akan menunjang tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan Desa. Keterbukaan masyarakat dalam mengakses
program dan pelaporan merupakan salah satu indikator dari pelaksanaan demokrasi
di tingkat Desa. Sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan
setiap program bisa di publikasikan di papan pengumuman atau bagi Desa yang
sudah akrab dengan internet, Kepala Desa bisa memanfaatkannya dengan membuat
website Desa yang didalamnya ada pertanggangjawaban setiap program.
Pengelolaan keuangan
desa ini memang menjadi sebuah keharusan, karena sudah diatur dalam Permendagri
No.113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Sesuai pasal 2 (1)
Keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel,
partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Kepala Desa
dalam hal ini sebagai pemegang kekuasaan pemegang kekuasaan desa. Sedangkan
dalam pasal 2, Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa
mempunyai kewenangan:
1. Menetapkan
kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa
2. Menetapkan
PTPKD (Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa)
3. Menetapkan
petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa
4. Menyetujui
pengeluarkan atas kegiatan yang ditetapkan dalam APBDesa
5. Melakukan
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDesa.
Dalam melaksanakan
pengelolaan keuangan desa Kepala Desa dibantu oleh PTPKD. PTPKD berasal dari
unsur perangkat desa yang terdiri dari Sekretaris Desa, Kepala Seksi, dan
Bendahara.
Pertanggungjawaban,
pelaporan dan penganggaran perlu mendapatkan perhatian yang lebih karena jika
dilihat dari prioritas program pemberdayaan sebagai contoh di Kabupaten
Sidoarjo yang paling diharapkan yaitu Perbaikan Sarana Publik sebesar 50
persen. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur dan sarana publik
memang masih kurang di tingkat desa. Maka dari itu diperlukan anggaran yang
besar untuk membangun sarana publik dan infrastruktur lainnya. Selain anggaran
besar, juga harus diimbangi dengan pemerintahan yang bersih dengan menerapkan
prinsip-prinsip transparansi dan akuntabel. Program terbanyak kedua yang
diinginkan yaitu Perbaikan Pemukiman dan Lingkungan sebesar 22,6 persen,
sedangkan Kesehatan dan Pendidikan hanya 12,30 persen.
Dari gambaran prioritas
program di atas menunjukkan bahwa yang menjadi prioritas program pemberdayaan
yaitu perbaikan sarana publik seperti jalan, irigasi, jembatan dan lain-lain
yang memang masih banyak dikeluhkan masyarakat. Kendala infrastruktur ini di
Jawa Timur juga perlu mendapatkan perhatian terutama di daerah pelosok dan
rawan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Dengan prioritas program pada
infrastruktur maka Kepala Desa nantinya akan menggunakan anggaran dalam porsi besar
pada pembelian barang maka dari itu dituntut untuk menerapkan prinsip
akuntabilitas dan transparansi, sehingga tidak menjadi temuan oleh BPK apalagi
KPK.
Perlu diketahui bahwa
pelaksanaan ADD selama ini masalah pendanaan yang banyak dikeluhkan. Dengan
keterbatasan dana yang ada Kepala Desa harus memprioritaskan program yang
memang benar-benar sangat diperlukan oleh masyarakat Desa. Bagian yang perlu
ditingkatkan yang paling besar yaitu kecilnya pendanaan sebesar 35 persen.
Kecilnya dana selama ini menjadi masalah utama. Dengan anggaran yang terbatas
praktis desa tidak bisa melakukan pembangunan. Bagi desa yang mempunyai potensi
SDA yang berlimpah bisa dimanfaatkan, namun jika desa daerahnya minus
gelontoran anggaran merupakan sebuah keharusan. Untuk mensiasati dana yang
minim, maka akhirnya Kepala Desa sering berjejaring dengan Anggota DPRD
Kabupaten untuk mendapatkan program jasmas dari anggota dewan yang dikenalnya
atau didukungnya dalam Pileg. Namun jika Kepala Desa tidak mempunyai jejaring
tersebut maka dengan dana minim, hanya bisa berdiam diri, apalagi dana yang
diharapkan atas amanat UU Desa baru dimana tiap desa bisa mencapai 1,4 miliar
masih belum terealisasi dikarenakan anggaran yang tidak cukup. Dana dari APBN
tiap desa untuk Dana Desa (DD) tiap desa hanya 140-150 juta.
Kepala Desa yang bisa
melihat potensi daerahnya salah satunya yaitu Sugeng Santoso Kepala Desa Duren
Sewu, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Dengan dukungan BPD dan masyarakat
Desa Duren Sewu membangun kolam renang untuk umum. Ide ini muncul karena
potensi air permukaan di daerah tersebut berlimpah dan keinginan untuk
menyediakan tempat rekreasi yang terjangkau oleh masyarakat sekitar, terjangkau
dari segi harga dan jarak. Sugeng
Santoso merintis pemandian ini sejak menjadi RT dengan mengajak warga yang mau
untuk patungan membuat kolam renang. Ketika menjadi Kepala Desa, tanah kas desa
juga digunakan untuk kolam renang dengan mekanisme serah guna bangunan. Selain
itu tiap bulannya Desa juga mendapatkan masukan sebagai PAD. Kemampuan
berjejaring Kepala Desa juga membantu dalam hal bantuan modal untuk
mengembangkan usaha kolam renang melalui Koperasi tempat Kepala Desa dulu
bekerja dan sekarang sudah dipercaya oleh Bank Jatim untuk meminjam dana yang
cukup besar. Untuk memaksimalkan pembangunan infrastruktur seperti jalan,
Sugeng Santoso juga melakukan jejaring dengan anggota DPRD Kabupaten Pasuruan
yang pada waktu Pileg didukungnya. Potensi alam yang indah dan udaranya masih
bersih membuat beberapa rumah makan membuka cabangnya di wilayah Duren Sewu. Keberadaan
rumah makan tersebut memberikan manfaat kepada penduduk sekitar, Kepala Desa
mewajibkan 70 persen pegawainya harus dari Desa Duren Sewu. Sehingga
pengangguran di Desa Duren Sewu bisa berkurang. Kepala Desa juga membina
kelompok pemuda untuk penggemukan kambing otawa.
Pelatihan dan pendampingan juga menjadi
kebutuhan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa sebesar 29,20 persen. Pelatihan
dan pendampingan khususnya dalam pelaporan kegiatan. Yang menjadi permasalahan
adalah jika bendahara desa SDM-nya rendah dan bukan pada usia produktif
sehingga agak sulit jika diberi pelatihan pelaporan keuangan sesuai dengan PP
No.71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Apalagi yang
terbaru dengan dengan menggunakan standar akuntasi akrual, dimana penerimaan
dan pengeluaran diakui atau dicatat ketika transaksi terjadi, bukan ketika uang
kas untuk transaksi-transaksi tersebut diterima atau dibayarkan.
Hal yang dikeluhkan
juga kemudahan aturan, seperti laporan pertanggungjawaban lebih diberi
kemudahan sebesar 24,50 persen, sehingga aturan yang ada bukan justru
menyulitkan Kepala Desa dan pada akhirnya kencenderungannya mendorng Kepala
Desa untuk menysiasati aturan yang sulit dengan membuat laporan
pertanggungjawaban asli tapi palsu. Realitas di lapangan kadang di desa
kesulitan jika harus transaksi dengan toko/rekanan yang mempunyai NPWP. Kategorikal
nominal transaksi juga kadang menyulitkan Kepala Desa. Sesuai aturan transaksi
dengan nilai Rp.500.000 tidak kena pajak. Transaksi Rp.1.200.000,- dikenai PPN,
dan Transaksi diatas Rp. 2 juta akan dikenai pajak PPN dan PPh. Sehingga ada
yang menyiasati transaksi dengan banyak membuat stempel toko atau rekanan. Sehingga
perlu dipikirkan juga laporan keuangan yang mudah, tidak menyulitkan Kepala
Desa.
Bagian yang perlu
peningkatan lainnya yaitu partisipasi masyarakat dalam setiap program Desa. Partisipasi
msyarakat ini akan tumbuh dengan sendirinya jika Kepala Desa menerapkan prinsip
demokrasi, akuntabilitas dan tranparansi dalam setiap tahapan terutama pada
penggunaan anggaran. Namun jika Kepala Desa tidak bisa menerapkan
prinsip-prinsip tersebut maka partisipasi masyarakat tidak akan tumbuh karena
tidak ada kepercayaan kepada Kepala Desa. Di Desa yang karakteristik
masyarakatnya kritis penerapan prinsip demokrasi, akuntabilitas dan
transparansi menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dinafikkan. Namun di beberapa
daerah partisipasi masyarakat dalam bentuk gotong-royong (kerja bakti)
dipengaruhi dari seberapa meratanya pembagian raskin/BLSM kepada masyarakat.
Masyarakat yang tidak
menerima bantuan dari pemerintah tersebut tidak mau ikut serta dalam kegiatan
desa seperti kerja bakti. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam membayar PBB
juga sebagai dampak tidak meratanya pemberian bantuan pemerintah. Maka dari itu
Kepala Desa perlu pendekatan khusus untuk meningkatkan partisipasi di tingkat
desa. Buruknya dampak pembagian BLSM atau pun raskin mayoritas Kepala Desa bahkan
mengusulkan untuk ditiadakan, karena pihak yang berhadapan langsung dengan
masyarakat adalah Kepala Desa, Kepala Desa yang pertama kali diprotes ketika
ada warga yang tidak masuk data warga yang menerima bantuan.
Implementasi UU No.6
Tahun 2014 tentang Desa ini akan berjalan dengan lancar sebagai indikatornya
Kepala Desa tidak melakukan penyelewengan anggaran maka diperlukan pendampingan
baik di tingkat Desa dan Kecamatan berkaitan dengan proses pentahapan mulai
dari perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban
dan pengawasan keuangan desa. Selain itu Kepala Desa juga memerlukan pendamping
hukum untuk mendampingi ketika bermasalah dengan hukum. Pendamping hukum di
tingkat desa ini sangat diharapkan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa tidak
semua melek hukum, sebagian besar masih awam apalagi jika nantinya sering
dihadapkan pada kasus hukum karena alokasi Dana Desa yang cukup besar sesuai
amanah Undang-Undang.
Sebagai contoh
mayoritas Kepala Desa di Kabupaten Sidoarjo selama pelaksanaan ADD masih
mengharapkan pendampingan yaitu sebesar 93,40 persen. Pelaksanaan UU Desa akan
berjalan efektif, perlu peran pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Hal ini selain tertuang dalam UU No.6 Tahun 2014 juga diatur lebih lanjut pada
PP No.43 Tahun 2014 tentang Desa. Diharapkan peran pengawasan yang dilakukan
BPD kepada Kepala Desa mampu membuat pemerintahan desa berjalan efektif, serta
menerapkan prinsip akuntabilatas guna meningkatkan partisipasi dan
kesejahteraan masyarakat desa.
Kendala
Tata Kelola Pemerintahan Desa yang Baik
Dalam pelaksanaan UU No.6 Tahun 2014
tentang Desa khususnya untuk mencapai pemerintahan desa yang akuntabel ada
beberapa kendala yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk perbaikan aturan
dikemudian hari. Kendala-kendala tersebut sebagai berikut:
1. SDM
(Perangkat)
Jabatan perangkat dijadikan jabatan prestise di Desa namun tidak didukung
oleh kemampuan. Di beberapa desa jabatan sebagai perangkat menjadi kebanggaan
tersendiri. Bahkan ada orang tua yang mendorong anaknya untuk menjadi perangkat
namun anaknya tidak mempunyai kemampuan. Sehingga akhirnya setiap ada kegiatan
selalu absen. Kepala Desa baru tidak bisa berbuat banyak selain menunggu masa
tugasnya berakhir. Maka dari itu sebaiknya jika ada perangkat yang tidak bisa
bekerja sesuai dengan bidangnya Kepala Desa bisa mengusulkan perangkat desa
kepada Bupati untuk diberhentikan. Kendala SDM lainnya yaitu usia pensiun yang
cukup lama, ada Kabupaten yang usia pensiun perangkatnya 60 tahun ada juga yang
usia pensiunnya 65 tahun. Usia tersebut untuk mengikuti kinerja sesuai dengan
amanat UU baru dirasa sulit, khususnya berkaitan dengan pengelolaan keuangan.
Sehingga Pemerintah daerah harus memperhitungkan usia pensiun dikaitkan dengan
tantangan dan tuntutan tugas yang semakin berat.
2. Sistem
akuntabilitas yang masih lemah
Sistem pertanggungjawaban yang rumit
justru membuat Kepala Desa melakukan pemalsuan bukti transaksi. Hal ini justru
menjadi koreksi apakah yang diperlukan sistem pelaporan yang ketat atau sistem
pelaporan yang memberikan kemudahan dan tidak merasa dicurigai atas penggunaan
keuangan Desa namun tidak ada pemalsuan bukti transaksi. Sistem pelaporan
penggunaan keuangan semakin rumit dikarenakan secara bersamaan setiap transaksi
harus dikenai pajak sesuai aturan yang ada seperti PPN dan PPh. Sehingga perlu
adanya pelaporan yang disesuaikan dengan kondisi desa dan peruntukan kegiatan.
3. Belum
kritisnya masyarakat atas pengelolaan APBDesa
Ada sebagian masyarakat memang kritis
terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, ada pula yang acuh, tidak mau tahu
tentang pemerintahan walaupun pada tingkat desa. Masyarakat desa masih perlu
ditingkatkan lagi partisipasi dalam pembangunan desa khususnya dalam hal
pengawasan terhadap APBDesa. Partisipasi masyarakat dalam mengkritisi APBDesa
sangat diperlukan sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam pembangunan
desa.
4. Belum
maksimalnya pendamping pengelolaan keuangan dan pendamping hukum di tingkat
desa. Fungsi pengawasan pengelolaan keuangan desa dalam UU No.6 Tahun 2014
diatur dalam BAB XIV tentang Pembinaan dan Pengawasan, khususnya Pasal 115 ayat
(g). Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota adalah termasuk mengawasi pengelolaan keuangan desa. Pemerintah
Daerah memang tidak hanya megawasi pengelolaan keuangan desa, namun juga
melakuka pembinaaan. Hal ini sangat diperlukan karena kualitas perangkat
khususnya yang mengelola keuangan perlu mendapatkan pelatihan berkaitan dengan Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP). Sehingga pengelolaan uang di desa demi
kesejahteraan masyarakat bisa tersalurkan dengan baik, tidak terhambat dengan permasalahan
atau kendala administrasi apalagi sampai ada Kepala Desa yang terjerat korupsi.
Namun tidak
terlepas dari hambatan-hambatan yang ada dalam melaksanakan UU No.6 Tahun 2014 tentang
Desa untuk lebih mensejahterakan dan melibatkan partisipasi masyarakat
diperlukan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Sehingga
tercipta tata kelola pemerintahan desa yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Yansen.2014.Revolusi Dari Desa. Jakarta:PT. Media
Komputindo.
Eko,Sutoro.et.al.2014.Desa Membangun Indonesia.Yogyakarta:FPPD