Implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa di Jawa Timur dengan Pendekatan Community Based Training (CBT)
Oleh : Wartiningsih
1. Pendahuluan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 (selanjutnya UU Desa), desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan dalam angka 9 yang disebut kawasan desa adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Pengertian desa dan kawasan desa sebagaimana yang
dirumuskan dalam UU Desa tidak berbeda dengan yang dirumuskan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa. Akan tetapi
apabila dicermati nampak bahwa UU Desa memiliki spirit yang lebih dalam mewujudkan desa yang lebih “berdaya”.
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi permasalahan
adalah perlunya pendekatan Community Based Training dalam
implementasi Undang-undang Nonor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam tulisan akan dikaji asas demokrasi , asas pemberdayaan, asas
partisipasi, asas keberagaman, alokasi Dana Desa, kewenangan Kepala Desa dan
kewenangan desa, masyarakat desa, penguatan
fungsi Badan Permusyawaratan Desa. Kajian tersebut dimaksudkan untuk membangun
argumentasi penulis tentang pentingnya menggunakan pendekatan Community Based Training impementasi
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3. Pembahasan
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup pada daerah pedesan yang
mana secara stuktural dan administrasi memiliki peranan yang sangat penting
bagi perkembangan suatu negara. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2004-2013 jumlah desa di seluruh Indonesia kurang lebih
80.714 desa. Melalui UU Desa yang menjadi sasaran bukan hanya desa semata
tetapi masyarakat yang bermukim di desa yang bersangkutan. Nilai-nilai
tradisional yang melingkupi masyarakat pedesaan seperti “sikap tidak menghargai
waktu”, “kurang bekerja keras”, tidak memiliki mental berprestasi (Danang dalam
Agnes, 2004: 83) harus terkikis habis. Oleh karena dalam UU Desa memberikan
peluang untuk itu juga. Sikap dan nilai-nilai seperti itu dapat dipahami oleh
karena sikap dan nilai-nilai tersebut merupakan “endapan” kecewaan yang berasal
dari problem desa yang bersumber pada
kebijakan struktural yang melemahkan desa (Budiman S, 2014). Misalnya tentang
program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang digulirkan oleh Perum
Perhutani belum menyentuh seluruh masyarakat di sekitar hutan karena adanya
“ego sektoral” antar beberapa institusi yang seharusnya berkewajiban untuk
mengimplementasikan progran tersebut (Nunuk Nuswardani & Wartiningsih,
2012).
Spririt atau semangat UU Desa ini secara umum dapat dilihat pada
Pasal 3 yang mengatur tentang asas pembangunan desa Pasal 3 menyebutkan bahwa
asas pembangunan desa adalah :
a.
rekognisi;
b.
subsidiaritas;
c.
keberagaman;
d.
kebersamaan;
e.
kegotongroyongan;
f.
kekeluargaan;
g.
musyawarah;
h.
demokrasi;
i.
kemandirian;
j.
partisipasi;
k.
kesetaraan;
l.
pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.
Asas Demokrasi
Sudah menjadi konsensus nasional bahwa sistem pemerintahan yang
dianut oleh Indonesia adalah demokrasi. Secara teoritis demokrasi dapat dilihat
dari 3 (tiga) dimensi yaitu :
1. Tujuan (goal).
Apabila suatu pemerintahan menganut asas demokrasi maka upaya untuk mencapai
tujuan bersama harus membawa nilai-nilai keadilan (justice),
kesejahteraan (wealth), kesetaraan (equality; egaliter),
kebebasan (liberty), hak asasi manusia (human right)
dan persaudaraan (fraternity).
2. Sistem nilai, dalam hal ini demokrasi menghendaki nilai-nilai keberagaman
(plurality), integrasi (integration),
kebebasan (liberty), tanggung-jawab (responsibility),
kesetaraan (equality; egaliter) dan persaudaraan (fraternity).
3. Mekanisme (procedure).
Penyelenggaraan pemerintahan yang ada harus menyediakan perangkat-perangkat
yang dapat dijalankan diantaranya Pemilu, partisipasi, perwakilan, musyawarah
mufakat, pemungutan suara (voting), pembagian kekuasaan (share
of power), distribusi kekuasaan (distribution of power)
hingga supremasi hukum (rule of law) (Fahrul Muzaqqi & Siti
Aminah, 20015 : 11).
Dengan demikian agar
suatu pemerintahan desa berlangsung secara demokratis maka sudah barang tentu
melaksanakan kepemimipinan yang demoktratis. Kepemimpinan yang demoktaris
diharapkan dapat berfungsi :
1. Mendistribusikan
tanggung jawab, oleh karena disadari bahwa segala persoalan yang ada di desa
merupakan persoalan bersama sehingga tidak mungkin akan semua tanggung jawab
dibebankan pada Kepala Desa.
2. Memberdayakan orang
lain. Dengan adanya tanggung jawab yang dibebankan pada perangkat/warga desa
terkandung maksud bahwa Kepala Desa mengakui kemampuan yang ada pada perangkat/warga
yang bersangkutan (Fahrul Muzaqqi & Siti Aminah 2015 : 18).
Asas Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat sendiri
diartikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat dalam mengembangkan kemampuan
sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil
keputusan secara pribadi. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat ditujukan
untuk mendorong terciptanya kekuatan dan kemampuan lembaga masyarakat untuk
secara mandiri mampu mengelola dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan masyarakat
itu sendiri, serta mapu mengatasi tantangan persoalan di masa yang akan datang
(Agnes, 2004).
Dasar pandangan strategi pemberdayaan
masyarakat adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar
persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam
masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan
mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain memberdayakannya (Ginanjar;
1996). Selanjutnya, usaha pemberdayaan harus diikuti dengan memperkuat potensi
atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan
langkah-langkah yang lebih positif dan tidak hanya sekedar menciptakan iklim
dan suasana. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai seperti
kerja keras, keterbukaan, hemat, kebertanggungjawaban, adalah bagian pokok dari
pemberdayaan (Ginanjar; 1996).
Melalui UU Desa diharapkan desa
menjadi subyek pembangunan, yang bisa memberdayakan dirinya, dapat mencapai tujuan, menata masyarakatnya
berdasarkan norma-norma yang dimilikinya.
Asas
Partisipasi
Perubahan
paradigma dalam pembangungan dari “top-
down” ke arah “bottom-up” sudah barang
tentu membutuhkan partisipasi masyarakat desa. Asas partisipasi ibarat 2 (dua)
sisi mata uang dengan asas keberagaman. Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat desa yang memiliki kekhususan berbeda satu dengan yang lain maka
partisipasi merupakan pendekatan tepat untuk diterapkan. Pemerintahan desa
diberi kebebasan dan kewenangan dalam menata dan memodifikasi sesuai dengan
kebutuhan desa sudah barang tentu masyarakatlah yang paling mengerti. Dalam perencanaan pembangunan berbasis data desa yang partisipatif
maka partisipasi masyarakat menempati posisi terpenting
Asas
Keberagaman
Apabila
dilihat dari sejarah perkembangan hukum di Indonesia, sebelum dianutnya asas
konkordansi, yaitu asas yang mengharuskan seluruh warga Indonesia untuk tunduk
pada hukum kolonial yang berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda,
Indonesia terdiri dari 19 lingkungan hukum adat. Artinya
bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki keberagaman secara sosial,
budaya dan sumber daya. Dalam kenyataannya banyak hukum atau peraturan perundang-undangan
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat
diberi label pelanggar hukum dan
sebagainya.
Von
Savigni menyatakan bahwa agar suatu undang-undang dapat berlaku secara efektif
apabila lahir dari kandungan masyarakat sehingga sesuai dengan cita-cita dan
pandangan masyarakat tentang apa yang hendak diangkat sebagai undang-undang,
peraturan daerah atau peraturan desa (Satjipto Rahardjo, 2000 : 91).
Bersamaan
dengan perubahan paradigma maka hukum pun mengakui adanya keberagaman. Beberapa
peraturan perundang-undangan di Indonesia menunjukkan adanya hal tersebut
termasuk UU Desa. Asas bukanlah aturan hukum, akan tetapi asas adalah
“jantungnya’ peraturan hukum karena
asas merupakan landasan yang paling kuat bagi lahirnya suatu peraturan
hukum atau “ratio legis”.Dengan adanya asas hukum maka hukum bukanlah sekedar sekumpulan
peraturan tetapi ia mengandung
nilai-nilai dan tuntutan etis dari masyarakat yang hendak diatur, asas hukum
merupakan jembatan penghubung antara peraturan hukumn yang dibuat dengan
cita-cita dan pandangan etis masyarakatnya (Satjipto Rahardjo, 2000 : 45 ). UU
desa memberi ruang bagi masyarakat untuk mengatur hal tertentu yang secara
spesifik belum diatur dalam UU yang berlaku secara nasional melalui pembentukan
peraturan desa, peraturan kepala desa, atau keputusan kepala desa. Dengan
demikian dengan adanya UU Desa, desa dapat menata dan mengatur masyarakatnya
secara spesifik antara lain norma yang berlaku di suatu desa.
Alokasi
Dana Desa
Pengaturan tentang
alokasi dana desa terdapat pada Pasal 72
UU Desa :
(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)
bersumber dari:
a. pendapatan asli Desa
terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli
Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang
tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
bersumber dari Belanja Pusat dengan
mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3)Bagian hasil pajak
daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh
perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
paling sedikit 10% (sepuluh perseratus)
dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan
sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6)Bagi Kabupaten/Kota
yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah
dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Pengelolaan
keuangan Desa dilakukan secara transparan, akuntabel dan bertanggung
jawab. Untuk menopang penyelenggaraan Pemerintahan Desa khususnya terkait
anggaran dan belanja Pemerintahan Desa, maka salah satu sumber pendapatan Desa
berasal dari alokasi belanja pusat dengan memanfaatkan program yang berbasis
Desa secara merata dan berkeadilan (pasal 72 ayat 2). Dalam Pasal 72 ayat (3)
dan (4) UU ini juga dialokasikan minimal 10 persen masing-masing dari hasil
pajak/retribusi daerah dan dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. Dalam
Pasal 76 dan 77, Desa diberi kewenangan untuk mengelola asset yang berada di
wilayahnya dan dicatat sebagai kekayaan Desa. Secara teknis, pengelolaan
keuangan dan asset Desa akan dituangkan lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah
yang sedang disiapkan saat ini.
Pengelolan keuangan dan asset Desa dalam UU Desa ini akan menjadi tantangan tersendiri dalam
pelaksaaan dan penyelenggaraan pemerintahan Desa. Dengan kata lain,
pemerintahan Desa perlu mempersiapkan diri dan memodifikasi sistem dan
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya masing-masing. Untuk terus
meningkatkan kesiapan dan kemampuan perangkat Desa, maka dalam Pasal 112 sampai
dengan Pasal 115 baik Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Desa.
Pendidikan dan penyuluhan serta memberikan pedoman penyusunan peraturan dan
perencanaan Desa secara partisipatif. Selain itu juga, evaluasi peraturan Desa
dilakukan untuk menjamin kualitas peraturan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat Desa. Oleh karena tidak menutup kemungkinan bahwa
kesalahan dalam pembuatan laporan keuangan menyebabkan Kepala Desa harus
“berurusan” dengan KPK.
Kewenangan Kepala
Desa
Dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa, Kepala desa memiliki wewenang
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2)
UU Desa yaitu :
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan
masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h.membina dan
meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai
perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi
tepat guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Mencermati
rumusan di atas maka kewenangan Kepala desa tidak saja luas tetapi juga penuh karena memiliki
wewenang tidak saja wewenang di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kepala Desa dalam melaksanakan wewenangnya di bidang eksekutif seperti
penyelenggaraan pemerintahan desa. Wewenang di bidang legislatif seperti
pembuatan peraturan desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa’
Wewenang membina kehidupan masyarakat
Desa, membina ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa, mengembangkan
kehidupan sosial budaya masyarakat Desa, mengkoordinasikan pembangunan desa
secara partisipati menjadi kritis apabila dalam melaksanakan wewenang-wewenang
tersebut terjadi konflik di antara masyarakat desa.
Konflik didefinisiksn sebagai proses terlibatnya dua aktor atau lebih di dalam perbedaan/benturan
gagasan (ideologi; identitas) dan atau perjuangan kepentingan terhadap
sumberdaya terbatas. proses terlibatnya dua aktor atau lebih di dalam
perbedaan/benturan gagasan (ideologi; identitas) dan atau perjuangan kepentingan
terhadap sumberdaya terbatas. Konflik juga diartikan
oleh Webster bahwa “konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan
bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak didapat dicapai secara
simultan” ((Novri
Susan dan Ucu Martanto, 2015 : 113). Dua
pilar dari UU Desa partisipasi dan beragaman. Amanah UU Desa yang harus
dijalankan Kepala Desa dalam menjalankan roda pemerintahan dengan partisipasi seluruh warga masyarakat desa
maka dapat dimaklumi kemudian jika kemudian
banyak muncul konflik. Secara ekstrim Thomas Hobbes yang menggambarkan
bahwa manusia sejak zaman
perbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu alamiah untuk memperjuangkan
kepentingannya sendiri. Dalam masa primitif, ditandai kecurigaan dan keangkuhan
hati individu-individu yang saling menyerang; manusia serigala bagi manusia
lain (homo homini lupus) (Theo Huijbers, 1982 : 65).
Dari
sisi pendekatan Teori Konflik menyatakan bahwa konflik itu perlu agar
terciptanya perubahan sosial. Teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan
karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu,
masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu
ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus. Teori
konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada
keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami
konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat
adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga
membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda
ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi
dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik
diunduh 17 April 2015).
Partisipasi yang
diamanahkan oleh UU Desa tidak menutup kemungkinan banyak terjadinya konflik
yang akan menyertai setiap kegiatan atau program yang akan direncanakan
pemerintah desa.Untuk itulah Kepala Desa perlu dibekali kemahiran
berkomunikasi, negosiasi dan mediasi. Melalui UU
Desa ini pula diharapkan dapat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi
antara masyarakat sekitar hutan dengan pemerintah (Perum Perhutani) dan
pengusaha pemegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik, yang sampai saat ini
masih marak terjadi sesungguhnya bersumber dari penguasaan atas wilayah
masyarakat adat/lokal yang dikemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai
kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak
melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak historis
dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang masih
terjadi di beberapa daerah (Nurjaya, 2004).
Hak dan
Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1).
Secara historis desa adalah suatu
entitas sosio kultural yang mengatur diri sendiri (selft governing). Melalui desa inilah identitas lokal diekspresikan
dan kepentingan kolektif di dalam komunitas yang dikelola. Pelaku kolektif
inilah yang kemudian membentuk institusi desa dibentuk dan dikembangkan (Agnes,
2004). Dengan hadirnya UU Desa sejatinya bukan hadir karena hadiah penguasa
(pemerintah) melainkan tumbuh dalam realitas soial yang kritis, kreatif dan
antisipatif. Realita tersebut diakui secara eksplisit dalam bagian “Menimbang”
dari UU Desa yaitu :
“Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,
Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat
menciptakan landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera”.
Akan
tetapi adanya hambatan struktural yang ada selama ini maka perlu penguatan pada kelembagaan yang berbasis masyarakat
(Roman Lendong dalam Agnes, 2004).
UU Desa mengatur hak dan kewajiban
desa pada Pasal 67 :
(1) Desa berhak:
a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal
usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
b.
menetapkan dan mengelola
kelembagaan Desa; dan
c.
mendapatkan sumber
pendapatan.
(2)
Desa berkewajiban:
a. melindungi dan menjaga persatuan,
kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat Desa;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
e. memberikan dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.
Sementara Pasal 68
mengatur tentang hak masyarakat desa yaitu :
(1)
Masyarakat Desa berhak:
a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta
mengawasi kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa;
b. memperoleh pelayanan yang
sama dan adil;
Keterbukaan
juga menjadi salah satu pilar dari UU Desa, yang mana keterbukaan informasi
diperlukan dalam rangka menjawab :
1.
Hak masyarakat
tentang proses pembuatan dan alasan kebijakan desa;
2. Hak
masyarakat tentang proses pelaksaan kebijakan desa;
3.
Menyediakan layanan informasi yang berkualitas.
Keterbukaan
informasi menjadi penting karena :1) Pembangunan tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat;
(2) Untuk mengukur komitmen pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat; (3)
alokasi sumber daya pembangunan desa
dipastikan dapat menjawab kebutuhan riil masyarakat; (4) Sebagai bahan bagi
masyarakat desa untuk menilai program-program kegiatan yang direncanakandan dilaksanakan pemerintah desa.
Penguatan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa
Menurut Pasal 55 UU Desa , Badan Permusyawaratan Desa mempunyai
fungsi:
a. membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melakukan pengawasan
kinerja Kepala Desa.
Disini ada penambahan pada huruf c. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, dimana dalam Pasal 209 disebutkan Badan Permusyawaratan Desa
berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.
Berkaitan dengan
penguatan institusi lokal, Krisdyatmiko merinci tentang manfaat dari penguatan
institusi lokal sebagai berikut :
· Masyarakat dapat meningkatkan ikatan
sosial secara lebih intens dengan adanya kesamaan tujuan dan cara pandang yang
dibangun bersama;
· Masyarakat terbiasa untuk membicarakan
secara bersama-sama apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan mereka, dalam
suatu forum yang demokratis;
· Masyarakat mengalami bagaimana
penyusunan aturan main bersama;
· Masyarakat memiliki wadah
mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan riil mereka secara bersama-sama;
· Masyarakat mengalami dan mengerti
mekanisme pengambilan keputusan secara kolektif yang didasarkan pada
kepentingan dan kebutuhan bersama;
· Masyarakat mengalami konsekuensi
menerima hasil keputusan bersama untuk dilaksanakan secara bersama-sama;
· Masyarakat mengaami pembelajaran dalam
meresolusi konflik yang bisa jadi menyertai proses dan hasil pengambilan
keputusan;
· Masyarakat berani memperjuangkan
hak-hak mereka sebagai warga negara dalam kerangka advokasi kebijakan publik;
· Masyarakat merasakan manfaat keberadaan
suatu jaringan kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan bersama;
· Masyarakat merasakan manfaat keberadaan
institusi lokal sebagai arena yang mampu
memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan mereka (Krysdyatmiko dalam
Agnes, 2004).
Mencernati apa yang dinyatakan oleh
Krysdyatmiko tentang penguatan institusi lokal, dalam hal ini Badan
Permusyawaratan Desa, sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan seluruh
Ketua dan anggota BPD. Jangan sampai terjadi kemandegan komunikasi diantara
BPD, Kepala Desa dan masyarakat. Hal tersebut mengganggu mekanisme yang sudah
dibangun. Kemandegan komunikasi akan membawa implikasi seperti sikap saling
mencurigai, terhambatnya kelancaran administrasi pemerintahan desa, menghalangi
mengalirnya arus informasi yang seharusnya diterima masyarakat yang pada
akhirnya berujung pada lemahnya fungsi BPD dan pemerintahan desa.
Pendekatan
Community Based Training
Agar
implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat berjalan
efektif maka perlu menggunakan pendekatan Community
Based Training (CBT). Dalam UU Desa banyak hal-hal yang relatif baru
sehingga dalam mengimplementasikan perlu disertai dengan pelatihan. Metode Community
Based Training ini dikembangkan oleh International
Labor Organization (ILO) berdasarkan pembelajaran dari berbagai negara yang
telah melakukannya dalam situasi sosial ekonomi yang berbeda dan spesifik (http://www.bmunusantara.com/training-for-rural-economic-/#sthash.P28mn9WW.dpuf).
ILO
memberi pengertian bahwa Pelatihan
(CBT) adalah metodologi berbasis masyarakat
didasarkan pada pendekatan sistem
yang terdiri dari analisis, desain, implementasi dan evaluasi pelayanan pelatihan untuk mendukung pekerjaan yang menguntungkan
di sektor informal perkotaan dan di pedesaan. Hal
ini dirancang untuk membantu instansi pemerintah,
organisasi non-pemerintah dan lembaga-lembaga pelatihan untuk memberikan pelatihan bagi wirausaha dan perusahaan. Penekanan
pada pendekatan partisipatif yang
melibatkan masyarakat di semua
tahapan proses pelatihan dan
penyediaan keterampilan praktis untuk kesempatan kerja pra-diidentifikasi. Hal ini juga meningkatkan
produktivitas mereka yang terlibat dalam
kegiatan informal dengan meningkatkan
keterampilan mereka dan meningkatkan
organisasi dan manajemen produksi (ILO,
Genewa 2001).
ILO
merekomendasikan langkah-langkah dalam menerapkan pendekatan CBT yaitu :
1. Perencanaan
kelembagaan dan persiapan program. Hal yang perlu diperhatikan adalah perlu
dirintis lembaga mana yang akan menjadi mitra. Misalnya untuk masyarakat desa
yang hidup di sekitar hutan maka perlu menjalin kemitraan dengan Perum
Perhutani untuk melaksanakan Pogram Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM). Masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan milik Perhutani yang belum
dimanfaatkan. Untuk memasarkan hasil pertanian dan perikanan dapat menggandeng
mitra Koperasi Tani-Nelayan Andalan Jawa Timur (KTNA Jatim).
2. Identifikasi
dan Prioritas Bidang Pelatihan. Mencermati wewenang yang begitu luas dan
penuh dari Kepala Desa maka prioritas adalah pelatihan pembukuan, penyuluhan
tentang Undang-undang Tipikor. Undang-undang Desa mengatur tentang fungsi Badan Permusyawaratan Desa yang mana salah satunya
adalah membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, maka bersama-sama masyarakat
perlu pelatihan sederhana tentang prinsip-prinsip membuatan peraturan desa.
3. Persiapan Pelatihan dan Pengorganisasian. Setelah ditentukan prioritas pelatihan maka perlu
persiapan dan pengorganisasian yaitu lokasi pelatihan, pemilihan peserta
pelatihan, perekrutan dan pelatihan instruktur pelatihan, pengembangan
kurikulum pelatihan dan materi pelatihan.
4. Penyampaian Pelatihan. Pada langkah ini dapat muncul rintangan
dan kendala berkaitan dengan pemilihan sistem penyampaian pelatihan yang tepat
yaitu mengkompromikan faktor biaya dan faktor kenyamanan bagi peserta, standar
kualkitas pelatihan yang terbaik serta upaya-upaya agar pelatihan tersebut
dapat seluas mungkin menjangkau masyarakat.
5. Bantuan Paska Pelatihan. Disadari bahwa
pelatihan ini untuk merangsang peserta oleh karena itu diperlukan layanan
pendukung sesudah pelatihan.
6. Pemantauan dan Evaluasi. Pada umumnya
pemantauan dan evaluasi dari program-program pelatihan di desa lemah. Padahal
evaluasi adalah alat ukur yang penting dalam pengelolaan program-program
pelatihan yang berbasis masyarakat. Menurut Penulis, pelatihan yang berkaitan
dengan implementasi UU Desa ini sangat memerlukan informasi dari hasil
pemantauan karena akan menjadi bahan bagi perbaikan dalam penyusunan
perencanaan implementasi berikutnya.
4.
Simpulan
Berdasarkan
analisis beberapa hal penting yang diatur dalam UU Desa maka dapat disimpulkan
bahwa implementasi UU Desa penting untuk
menggunakan pendekatan pelatihan berbasis peran serta masyarakat atau Community Based Training. Oleh karena UU
Desa sendiri mengharapkan masyarakat desa mampu menentukan kebutuhan dan
kepentingan mereka sendiri yaitu berdasarkan asas demokrasi, keberagaman,
partisipasi dan pemberdayaan. Terpenting pula bahwa masyarakat desa dan desa
sebagai “perpanjangan tangan” dari negara menjadi “berdaya”. Melalui UU Desa mengubah paradigma
pembangunan dari “ top-
down” ke arah "
bottom-up”.
Semoga dengan pendekatan Community Based
Training implementasi UU Desa dapat
berjalan efektif dan berhasil mensejahterakan masyarakat
UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa menjadi peluang dan tantangan bagi desa karena amanat besarnya
adalah transformasi pembangunan desa berbasis
kebutuhan masyarakat desa. Tantangan berikutnya adalah mendorong
implementasi undang-undang ini tetap sesuai semangat awal, terutama terkait
partisipasi masyarakat desa.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes
Suhartiningsih, 2004, Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Yogyakarta, Aditya Media-Fisip UGM.
Fahrul Muzaqqi & Siti
Aminah,
2015, “Kepemimpinan Demokratis” dalam Materi Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan
Kapasitas Sumber Daya Manusia Kepala Desa dalam Tata Pemerintahan Desa yang
Baik, CSWS-Unair.
Ginanjar
Kartasasmita, 1996, Pembangunan Untuk
Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta, CIDES.
I Nyoman Nurjaya, 2004, Pengelolaan Sumber
Daya Alam dalam Perspektif Antropologi, UM-Press, Malang.
Nunuk Nuswardani
& Wartiningsih, 2012, “Model
Pengelolaan Hutan Terpadu Melalui Perberdayaan Forum Pimpinan Daerah di 4
(Empat) Kabupaten di Jawa Timur, DP2M-Dikti.
Novri Susan dan
Ucu Martanto, 2015, “Resolusi Konflik” dalam
Materi Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Kepala Desa dalam Tata Pemerintahan Desa yang Baik, CSWS-Unair.
Satjipto Rahardjo,
2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra
Aditya Bakti.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kanisiun.
Wartiningsih &
Nunuk Nuswardani 2013, IbM Masyarakat
Sekitar Hutan Kec. Geger. Kab. Bangkalan yang Menghadapi Masalah Hukum untuk
Pemberdayaan dan Kesejahteraan, DP2M-Dikti.
Appendix I ILO training methodologies and materials
dari “ Thematic evaluation: ILO projects on training for employment”, Genewa, 2001. http://www.ilo.org/public/english/standards/relm/gb/docs/gb280/pdf/tc-1.pdf
diunduh tgl. 17 /i/2015.
(http://www.bmunusantara.com/training-for-rural-economic-/#sthash.P28mn9WW.dpuf) diunduh tanggal 18 Januari 2015.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Desa.
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.