IMPLEMENTASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DI JAWA TIMUR: ANTARA HARAPAN DAN
TANTANGAN
Oleh
Antun Mardiyanta
Abstrak
Implementasi UU
No 6 Tahun 2014 merupakan momentum pembangunan yang penting bagi Provinsi Jawa
Timur. Keefektivan implementasi kebijakan ini berpotensi mampu memecahkan sebagian isu strategis daerah. Namun di sisi
lain ada sejumlah permasalahan yang menantang. Mulai dari masih adanya tarik
ulur kewenangan mengatur antar kementerian, permasalahan koherensi kebijakan di
tingkat implementasi sampai kesiapan implementor kebijakan itu sendiri.
Pendahuluan
Implementasi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang beresensi otonomi desa,
melalui pemberian kewenangan yang besar kepada Desa disertai sumber-sumber
pendanaannya yang memadai memiliki relevansi kebijakan yang sangat tinggi bagi
Provinsi Jawa Timur. Walaupun selama ini kinerja pembangunan Provinsi Jawa
Timur sudah relatif baik, bahkan untuk sebagian indikator di atas rata-rata
nasional, namun sejumlah permasalahan dan tantangan masih menghadang. Dalam hal
ini sebagian tantangan dan permasalahan tersebut nampaknya relevan dengan latar belakang, urgensi dan
arah kebijakan yang terkandung dalam UU Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keberhasilan
implementasi kebijakan strategis ini memberi harapan besar untuk dapat
terpecahkannya sejumlah permasalahan kebijakan strategis seperti kemiskinan
yang masih tinggi dan sebagian besar berada di pedesaan, ketimpangan desa-kota,
indeks pembangunan manusia yang secara agregat masih di bawah rata-rata
nasional dan sebagainya.
Data BPS Jatim
2015 menunjukkan bahwa sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk di Jawa
Timur adalah yang bersumber di sektor pertanian yang berada di 7.245 Desa atau
85,22 persen Desa.
Keunggulan Jawa
Timur dalam sektor pertanian ditunjukkan dengan produksi dan produktivitas
sektor pertanian yang lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Namun di balik
potensi yang besar tersebut tersimpan permasalahan besar pula. Data hasil
sensus pertanian 2013 menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir penyerapan
tenaga kerja di sektor pertanian Jawa Timur masih mendominasi. Tetapi tren
penyerapan mengindikasikan pelemahan setiap tahun. Penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian pada 2008 masih mencapai 43 persen, melambat menjadi 42 persen pada 2009 dan
2010, dan menjadi 39 persen pada tahun 2011 dan 2012. Tingkat produktivitas
pekerja (balas jasa faktor tenaga kerja) yang sangat rendah merupakan penyebab
utama sektor pertanian semakin sulit bersaing dengan sektor lainnya.
Dalam RPJP tahap
ke dua, Provinsi Jawa Timur sudah fokus pada peningkatan produksi dan
distribusi produk agribisnis berbasis
pertanian. Dengan pilihan kebijakan tersebut diharapkan daerah yang berpotensi
pertanian semakin maju dan masyarakatnya sejahtera, serta disparitas antar
wilayah semakin mengecil, khususnya dengan wilayah perkotaan yang merupakan
pusat-pusat perekonomian non pertanian.
Namun dalam
implementasi tidak semua sesuai harapan. Muncul permasalahan baru, selama lima
tahun terakhir kontribusi sektor pertanian pada pembentukan PDRB Provinsi Jawa
Timur cenderung mengalami pelemahan. Padahal Provinsi Jawa Timur merupakan
salah satu lumbung pangan andalan nasional. Menurut BPS kontribusi sektor
pertanian pada tahun 2009 tercatat sebesar 16,34 persen, menurun terus hingga
pada tahun 2013 tinggal 14,91 persen.
Menurunnya
kontribusi sektor pertanian pada PDRB ini juga diikuti dengan penurunan
kontribusi jumlah tenega kerja yang bekerja. Pada tahun 2009 kontribusi jumlah
tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian masih mencapai 42,93 persen,
kemudian menurun terus setiap tahun hingga tercatat tinggal 37,44 persen pada
tahun 2013.
Semakin
melemahnya kontribusi sektor pertanian baik dari sisi PDRB yang dihasilkan
maupun jumlah tenaga kerja yang terserap, merupakan fenomena yang
memprihatinkan sehingga harus menjadi perhatian serius bagi para perumus
kebijakan pembangunan Provinsi Jawa Timur.
Hal ini dikarenakan sektor pertanian merupakan core competence, merupakan sektor unggulan Provinsi Jawa Timur,
yang memberikan kontribusi terbesar ke
tiga dalam pembentukan PDRB dan mampu menyerap tenaga kerja yang terbanyak
dibanding sektor-sektor lainnya.
Berbeda dengan
PDRB, dari sisi kontribusi tenaga kerja, sektor pertanian memberikan kontribusi
penyerapan terbesar di Jawa Timur. Data
ini mengindikasikan bahwa produktivitas di sektor pertanian relatif rendah
dibanding sektor lainnya, dan menjadi salah satu penyebab mengapa sektor
pertanian semakin ditinggalkan oleh tenaga kerjanya. Pada tahun 2013 sektor pertanian
tercatat mampu menyerap tenaga kerja
37,44 persen, jauh lebih tinggi dibanding dua sektor unggulan Provinsi
Jawa Timur lainnya, yakni industri pengolahan dan Perdagangan, Hotel dan
Restoran (PHR) yang hanya mampu menyerap 21,01 persen dan 14,40 persen dari
total tenaga kerja yang bekerja di Provinsi Jawa Timur.
Produktivitas
dan upah buruh petani sangat rendah. Hal ini yang menyebabkan banyak penduduk
miskin yang berusaha atau bekerja di sektor pertanian. Sekitar 40 persen
penduduk miskin Jawa Timur bekerja di sektor pertanian. Meskipun persentase di
tahun 2012 lebih rendah dari tahun sebelumnya,
tetapi tetap masuk kategori dominan, bahkan jika angka penduduk miskin
dibandingkan dengan yang tidak bekerja sekalipun. Penduduk miskin karena tidak
bekerja di Jawa Timur sebanyak 35,70 persen, termasuk di dalamnya orang yang
sedang mencari pekerjaan. Sedangkan penduduk miskin yang bekerja di sektor non
pertanian sebanyak 24, 23 persen.
Kontribusi
sektor pertanian pada PDRB selama lima tahun terakhir masih di atas 15 persen,
namun cenderung menurun, padahal besaran PDRB secara agregat mengalami kenaikan
yang signifikan karena pertumbuhan ekonomi
Jawa Timur dalam lima tahun terakhir di atas rata-rata nasional. Ini menunjukkan
laju pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian sangat lambat.Selama lima tahun
terakhir sektor pertanian hanya mampu tumbuh antara 2-3 persen.
Suatu paradoks ,
di satu sisi sektor pertanian mampu berkontribusi terbesar ke tiga dalam
perekonomian Jawa Timur, namun di sisi lain, ternyata kemiskinan di Jawa Timur
didominasi oleh rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, terutama petani gurem.
Tantangan yang
masih menghadang
Bertolak
belakang dari proses terbuka dalam penyusunan UU No 6 / 2014 yang sungguh
melibatkan partisipasi berbagai komponen desa dan masyarakat di seluruh
Indonesia, proses kelahiran PP 43 dan 60 tahun 2014 ini hampir tidak ada
pelibatan dalam pembahasan di tingkat publik
Di tingkat pusat,
konteks kebijakan berlatar belakang tarik-ulur kewenangan di antara dua kementerian.
Meski akhirnya Presiden melalui Perpres nomor 11 dan 12 Tahun 2015 memastikan
rincian kewenangan Kemendagri maupun Kemendes IDT dan Transmigrasi, namun
proses tarik ulur yang melatarbelakangi amat jelas.
Kalau dalam
teori organisasi klasik dikenal prinsip pentingnya kesatuan komando, pembangunan
desa justru berada dalam posisi sebaliknya. Sampai saat ini desa memiliki dua
komando, dua pengatur yang justru terlibat dalam tarik ulur kewenangan dan
belum ada tanda-tanda berakhir, alih-alih untuk bersinergi.
Undang-Undang
Desa no 6 Tahun 2014 disahkan sebagai proses mengembalikan kepercayaan negara
kepada desa yang selama ini menjadi objek pembangunan dan kawasan “bebas area
untuk proyek-proyek sektoral” baik dari kabupaten maupun pusat. Asas recognisi
dan subsidiaritas merupakan upaya konkret dalam mewujudkan kemandirian desa
tersebut
UU Desa diterbitkan untuk menghormati desa dengan keberagamannya, selain
memberikan status dan kepastian hukum, melestarikan dan memajukan adat, tradisi
dan budaya, serta mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan yang melayani publik. Dalam
konteks implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, arah
kebijakan pemerintah lebih cenderung memberi otonomi dengan implementasi kebijakan
dan program yang sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat desa. Masyarakat desa
yang merancang kegiatan yang diperlukan. Tujuannya adalah mendorong partisipasi
masyarakat dalam seluruh siklus manajemen pembangunan desa, tidak terkecuali
implementasi kebijakan dan programnya.
PP 43 Tahun 2014
dan PP 60 Tahun 2014 banyak dimaknai sebagai proses kembalinya
birokratisasi desa. Mengurangi ruang kreativitas bagi desa,
karena banyak ketentuan pasal yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
menteri.
Strategi
implementasi kebijakan seperti ini disebut dengan pendekatan democratic governance. Menurut pendekatan democratic governance penilaian terhadap kinerja implementasi
melalui dua aspek dan sekaligus dua tahap. Pertama, menilai keberhasilan
partisipasi masyarakat. Yakni seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat
sejak dari proses perancangan program,
implementasi, hingga monitoring, evaluasi dan pemanfaatan hasil . Hal ini memiliki asumsi bahwa apabila kegiatan
yang dirancang bersifat aspiratif dan bermanfaat bagi masyarakat luas, maka
dinilai berhasil. Ke dua, apakah program yang mereka rancang diimplementasikan
dengan benar sehingga mencapai tujuan.
Implementasi UU
Desa yang sesuai dengan semangat awal yang melatarbelakangi kebijakan ini
diharapkan secara perlahan juga dapat mengembalikan modal sosial masyarakat
pedesaan, mengembalikan kepercayaan masyarakat desa kepada institusi pemerintah
desa, mengembalikan semangat gotong royong, semangat rembug desa yang berjiwa
deliberasi indigenous, memupuk etos kerja yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Jawa
Timur (2013), Potensi Pertanian Jawa Timur: Analisis Hasil Pendataan Lengkap
Sensus Pertanian2013;
BPS Provinsi
Jawa Timur (2014), Statistik Potensi Desa Jawa Timur: Ringkasan Eksekutif
BPS Provinsi Jawa
Timur (2014), Indikator Pertanian Provinsi Jawa Timur;
BPS Provinsi
Jawa Timur (2015), Berita Resmi Statistik April 2015: Nilai Tukar Petani Jawa
Timur Maret 2015;
BPS Provinsi
Jawa Timur (2015), Berita Resmi Statistik 1 April 2015: Perkembangan Nilai
Tukar Nelayan Maret 2015;