Konstruksi Hukum Pemerintah Daerah Jawa Timur
Dalam Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa berdasarkan UU No.6 Tahun 2014.
Dr.
Vieta Imelda Cornelis, SH.MHum.
Abstrak
Konstruksi hukum penyelenggaraan Desa di
harapkan bisa tercapai Kepastian Hukum, Tertib penyelenggaraan pemerintahan,
tertib Kepentingan Umum serta Proporsionalitas. Konstruksi yang bertujuan
mendapat Nilai Good Government diharapkan dapat tercapai Keterbukaan, profesionalitas,
Akuntabilitas, Efektifitas dan efisiensi serta partisipatif, sedangkan
Konstruksi untuk mendapatkan Nilai Lokal diharapkan bisa tercipta atau bisa
menggali kearifan lokal yang menjadi kebiasaan di desa serta tetap menjaga
pluralistik atau keberagaman di desa.
Kata
kunci ; Konstruksi hukum, Penyelenggaraan desa, Partisipatif, Akuntabilitas,
Efektifitas, Efisisensi.
I.
Pendahuluan
Pembaharuhan konstitusi yang
melahirkan perubahan perubahan yang fundamental pada Undang-Undang Dasar Negara
Republic Indonesia selanjutnya disebut UUD 1945. Tentunya secara langsung
merubah dinamika ketatanegaraan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan pusat
sampai ke daerah daerah termasuk pada satuan pemerintahan yang terkecil yaitu
desa.Tentunya hal ini di ikuti dengan Dasar hukum pada pengaturan undang undang dibawah UUD
1945, sehingga tentunya peraturan dibawah UUD 1945 pada perundang-undangan
dibawahnya harus tersusun bertingkat
seperti piramida yang tersistem dalam sistem hukum nasional bangsa Indonesia. Seperti
kita ketahui Indonesia menganut Teori
Hierarki atau Teori Stufenbau. Teori ini merupakan teori yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen dan menurut Hans kelsen “ Dalam bukunya yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh
Anders wedberg dengan judul General
Theory of Law and state , yang mengemukakan bahwa : The creation of one norm-the lower one-is
determined by another –the higher-the creation of which is determined by a
still higher norm, and that this regresses is terminated by a highest, the
basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order
, constitutes in unity”. (Norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang
lebih tinggi, demikian seterusnya dan bahwa ini regres-sus diakhiri oleh suatu
paling tinggi , norma dasar, menjadi pertimbangan bagi kebenaran keseluruhan tata
hukum) [1]
Ini sejalan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD.
N. RI 1945 yang mengisyaratkan bahwa, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”
sehingga segala sesuatu yang mengatur tentang kehidupan bernegara di Republik
Indonesia harus berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. ( ius
Constitutum). Kehidupan bernegara dalam satuan pemerintahan terkecil seperti
Desa, tidak terlepas dari aturan aturan yang ditetapkan dalam peraturan undang
undang. Berbicara tentang konsep dari UU Desa yang merupakan norma yang lebih
rendah ditentukan oleh Norma yang paling tinggi
Hadirnya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa[2]
yang selanjutnya disebut UU Desa,
merupakan undang-undang yang pada awalnya disetujui oleh semua anggota DPR-RI yang hadir
pada Sidang Paripurna DPR-RI pada
tanggal,28-Desember-2013 serta di sahkan
Presiden dalam Lembaran Negara RI 2014 No.7, pada tanggal 5- januari
-2014. Lahirnya UU Desa dalam Dinamika tata kelola penyelenggaraan pemerintahan
desa di Indonesia, sangat berpengaruh besar pada satuan pemerintahan Desa di
wilayah Republik Indonesia.Sehingga hal ini harus menjadi pemikiran berbangsa
segenap komponen bangsa dalam mensikapi hadirnya undang undang tentang desa
dengan harapan kesejahteraan itu bisa
tercapai sampai pada tingkat desa.
Sebenarnya Persoalan Kesehjateraan Bangsa Indonesia sudah hadir dari awal bangsa
Ini berdiri dan tentunya selama Negara Indonesia ada dimuka bumi Persoalan ini akan menjadi persoalan yang
senantiasa hadir dalam perkembangan dinamika ketatanegaraan. Karena berdasarkan
Pembukaan UUD 1945 didalamnya mengisyaratkan bahwa salah satu tujuan akhir dari
Bangsa Indonesia adalah memajukan kesehjahteraan umum. Kesehjahteraan umum
inipun adalah hak dari masyarakat desa di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan salah satu wilayah yang berada di Negara kesatuan Republik
Indonesia yaitu Propinsi Jawa Timur yang
ibukota provinsinya berada di kota Surabaya.
“Luas wilayah Provinsi Jawa Timur
mencapai 46.428 km2 atau 4.642.800 ha” [3]
Dan memiliki Satuan pemerintahan desa berjumlah kurang lebih 8.505 Desa/Kelurahan.[4]
Tentunya dengan jumlah desa yang
sangat banyak merupakan pekerjaan yang tidak muda untuk mengimplikasikan
pemerintahan desa, seperti yang sudah
diaspirasikan dalam UU Desa. Pelaksanaan penyelenggaraan desa yang sangat
komunal dan berdasarkan adat istiadat kemudian
setelah lahirnya UU Desa, desa dikembalikan kewenangan asli serta ditambahi
kewenangan- kewenangan yang lain
sekaligus diberikan dana untuk mengelola secara mandiri, partisipatif dan responsif
tentunya bukan persoalan yang muda. Sehingga diperlukan pengayoman yang baik
mengenai tata kelola tersebut secara berkala terutama dari pemerintah daerah,
dalam hal ini pemerintah daerah Jawa timur sebagai kepanjangan tangan dari
pemerintahan Pusat. Maka berdasarkan gambaran yang secara umum diatas dapat ditarik dua pertanyaan yang
mendasar yaitu,Persoalan atau pertanyaan yang sangat mendasar sehubungan dengan
hadirnya UU Desa dalam konteks Penyelenggaraan Pemerintahan di daerah jawa Timur
yaitu : Pertama, Bagaimana penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan UU Desa, Yang kedua adalah Bagaimana Konstruksi hukum Pelaksanaan Undang-undang tersebut di Provinsi
Jawa Timur.
II.
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berdasarkan
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Dilihat dari perjalanan
sejarah ketatanegaraan pengaturan tentang Penyelenggaraan pemerintahan desa
bukanlah subjek hukum baru didalam peraturan hukum di Indonesia. Jauh sebelum
Reformasi Desa sudah diatur dalam berbagai peraturan Hukum antara lain :
a. UU No 19 Tahun 1965 Tentang DesaPraja sebagai
bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III Diseluruh
Wilayah Republik Indonesia[5]
UU No. 19 Tahun 1965 yang selanjutnya disebut UU 19/ 1965 . Merupakan
undang-undang yang disahkan dan
diundangkan pada tanggal 1 september
1965 oleh Persiden Soekarno ( Presiden Republik Indonesia yang pertama) .
UU 19/1965 adalah undang-undang yang pertama
mengatur tentang desa-desa di Indonesia. Desa sudah lama terbentuk bahkan sebelum
Belanda menjajah Negara Indonesia, desa
sudah hadir sebagai pemerintahan yang berada sampai ke pelosok negeri. Sehingga
setelah Negara Indonesia merdeka
diperlukan pengaturan desa-desa yang berada di wilayah bekas jajahan
belanda. Visi awal pengaturan desa pada saat itu adalah membuang
peraturan-peraturan perundangan tata pedesaan umumnya yang masih mengandung
unsur-unsur dan sifat kolonial-feodal harus diganti dengan satu undang-undang
Nasional kedesaan yang berlaku untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia.
Sehingga diharapkan “ harus menjamin Tata
pedesaan yang lebih dinamis dan penuh daya guna dalam rangka menyelesaikan
Revolusi Nasional yang Demokratis dan
Pembangunan Nasional Semesta sesuai
dengan dan jiwa Manifesto Politik sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara dan
pedoman-pedoman pelaksanaan yang telah diperkuat dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sementara No. I/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahapan pertama 1961-1969”[6]
Memang Kehadiran UU 19/1965 adalah
undang-undang yang lahir pada Pemerintahan Presiden Soekarno dan semangat yang
lahir adalah semua aspek kegiatan ketatanegaraan di negeri ini jangan sampai
terlepas dengan persatuian kesatuan sebagai satu Bangsa. Karena bercermin dari
latarbelakang betapa sulitnya memerdekaan bangsa ini dari Kolonial penjajahan
sehingga produk-produk hukum yang lahir harus mengedepankan nilai nilai
Nasionalisme yang didalamnya kental dengan persatuan dan kesatuan bangsa.
b. UU
No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan
Desa.[7]
UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan desa
yang selanjutnya disebut UU No 5/1979
adalah undang undang yang lahir setelah Pemerintahan kedua, Yaitu
Presiden Soeharto. Undang-undang ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 1
Desember 1979. Undang-Undang ini lahir dengan semangat Pembangunan Nasioanal.
Pada tahun tahun Pemerintahan presiden soeharto yang dikedepankan adalah
pembanguinan bangsa itu sebabnya soeharto dikenal dengan nama Bapak pembangunan
Indonesia. Itu sebabnya Hadirnya UU 5/1979 membawa satu visi yaitu penyeragaman
administratif desa ini terlihat pada bagian konsideran UU 5/1979 yang
menyatakan bahwa “ Pemerintahan desa sejauh mungkin di seragamkan, dengan
mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih
berlaku untuk memperkuat Pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakan masyarakat
dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa
yang makin meluas dan efektif ” [8]
c. UU
No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah .
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, yang selanjutnya
disebut UU 22/1999 , adalah undang undang yang keseluruhan mengatur tentang
Pemerintahan daerah tapi tidak secara
spesifiek mengatur tentang Desa, namun setidaknya dalam perjalanan ketatanegaraan
sudah memberikan pengakuan akan hak lokalitas dan hak asli dari daerah yang
termasuk didalamnya ada Pemerintah desa. Dengan demikian UU 22/1999 secara tegas memberikan keluasan
peran dan tugas bagi desa untuk mengurusi tugas-tugas diluar kewenangan yang di
berikan oleh pemerintah , pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
d. UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah[9]
UU No.32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan selanjutnya disebut dengan UU 32/2004 ,
adalah undang undang yang lahir sebagai pengganti dari UU 22/1999 senada dengan
UU 22/199, semangat yang dibawah adalah semangat reformasi yang memberi
pengakuan lokalitas dan hak asli termasuk hak asli desa. Namun Kewenangan desa lebih ditekankan pada
tugas-tugas khusus yang di berikan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah Kabupaten/kota. Dengan demikian, kewenangan desa menjadi semakin
terbatas. Seiring dengan perjalanan ketatanegaraan UU 32/2004 di ganti dengan UU No 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah[10]
e. UU
No. 6 tahun 2014 Tentang Desa.
UU Desa adalah undang undang yang lahir yang
secara khusus mengatur tentang Pemerintahan Desa.
Dalam Memahami konteks pemerintahan desa
dalam UU Desa ini tidak terlepas dengan Pemahaman bahwa pada saat ini desa
mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam hal pluralitas Desa desa.
Kenyataan ini harus di pandang sebagai aset untuk mewujudkan operasinalisasi
kewenangan desa yang menuju Desa yang Mendiri, sejahtera, dan Partisipatoris.
Namun dari hal hal diatas harus di garis bawahi bahwa Kewenangan Pemerintahan
desa merupakan bagian dari kerangka besar dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Keseluruhan
kewenangan Negara kesatuan Republik Indonesia dalam mencapai
cita-citanya, pilihannya jatuh terhadap sistem desentralisasi yang dengan dasar pertimbangan semenjak awal kemerdekaan, pada kenyataannya dihadapkan
pada persoalan keberagaman suku, adat, agama dan didukung oleh karakter wilayah
kepulauan. Denag sistem Desentralisasi akan meningkatkan daya tanggap
pemerintah kepada publik dan peningkatan jumlah dan kualitas pelayanan yang
harus disediakan.
Kewenangan penyelenggaraan pemerintahan desa meliputi : Kewenangan di
bidang penyelenggaraan Pemerintah Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat desa, berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.Kewenagan ini sesuai dengan
Pengertian atau pemahaman tentang desa.
Pengertian desa menurut uu desa adalah : Desa atau desa
adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pengaturan desa antara lain memberikan
pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia terlebih
memberikan legalitas atau kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain melestarikan dan mewujudkan adat, tradisi dan budaya masyarakat desa
serta memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan Nasional dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek
pembangunan.Sementara Tujuan Penyelenggaraan pemerintahan Desa adalah membentuk
Pemerintahan desa yang Profesional, efisien dan efektif, terbuka serta
bertanggung-jawab.
UU Desa mengatur tentang Penyelenggaraan
pemerintahan desa secara garis besar ada dalam Bab V yang antara lain mengatur tentang Penyelenggaraan
Desa, Asas-asas Penyelenggaraan pemerintahan
desa, Pemerintah Desa,
Kepala desa, Pemilihan Kepala desa, pemberhentian
kepala desa, Perangkat Desa, Musyawatah Desa, Badan Permusyawaratan Desa,
Fungsi persyaratan Calon Anngota dan Keanggotaan. Sedangkan Pengaturan desa terdiri dari tiga hal yaitu Pertama, Hak asli yang didalamnya terdapat 3
(tiga ) asas yaitu Asas Rekognisi, Asas subsidiaritas, dan asas keberagaman,
Yang kedua adalah tentang Lokalitas Demokrasi terdiri dari Asas Kekeluargaan,
Asas musyawarah, asas demokrasi, asas partisipasi dan asas kesetaraan sedangkan
yang ketiga adalah Swadaya masyarakat yang terdiri dari Asas kebersamaan,Asas kegotongroyongan, Asas Kemandirian, asas
Pemberdayaan dan asas Berkelanjutan. Sehingga dari ketiga hal pokok di atas
yang didalamnya terdapat asas-asas yang merupakan penunjang pelaksanaan
Penyelenggaraan desa sehingga penyelenggaraan desa dapat diharapkan mendapat
tiga Konstruksi penyelenggaraan Desa, yaitu Nilai hukum, Nilai Government dan
nilai lokal.
Nilai hukum dalam Konstruksi hukum
penyelenggaraan Desa di harapkan bisa tercapai Kepastian Hukum, Tertib
penyelenggaraan pemerintahan, tertib Kepentingan Umum serta Proporsionalitas.
Konstruksi yang bertujuan mendapat Nilai Good Government diharapkan dapat
tercapai Keterbukaan, profesionalitas, Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi
serta partrisipatif, sedangkan Konstruksi untuk mendapatkan Nilai Lokal
diharapkan bisa tercipta atau bisa menggali kearifan lokal yang menjdi
kebiasaan di desa serta tetap menjaga pluralistic atau keberagaman di desa.
III.
Konstruksi
Hukum Pelaksanaan Undang-Undang
Desa Di Jawa Timur
Kata
Konstruksi umumnya dipakai oleh para arstiktetur di bidang tehnik maupun ilmu
bahasa, di dalam Ensiklopedi Indonesia di sebutkan Pengertian Konstruksi dalam -arsiktetur : “Susunan berbagai bagian
hingga menjadi suatu keseluruhan bangunan yang teguh. Ilmu Konstruksi
mempelajari cara pemakaian berbagai bahan, sehubungan dengan bahan. Sehubungan dengan sifat-sifat bahan
tersebut sedangkan pengertian Konstruksi dalam ilmu bahasa : urutan Kata kata
dalam suatu kalimat.”[11]
Di dalam ilmu hukum juga kata konstruksi
hukum dipakai untuk menjelaskan metode penafsiran hukum yang menurut Prof J.H.A
Logemann:[12]
“Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang
ahli hukum di wajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat
undang-undang sedemikian rupa sehingga
tidak menyimpang dari apa yang di kehendaki oleh pembuat udang undang.” [13] “Construct
: To build ; erect; put together; make ready for use. To adjust and join
materials, or parts of, so as to form a permanent whole. To put together
constituent parts of something in their proper place and order. “construct” is
distinguishable from “maintain” which means to keep up, to keep from change, to
preserve. “.[14]
Sehingga di dasari dari sumber bahasa aslinya
serta mengacu pada black’s law dictionary, Maka Konstruksi hukum yang dimaksud
disini adalah dalam konteks kerangka Pengaturan desa-desa di jawa Timur berdasarkan peraturan hukum
yang diatur dalam UU Desa. Dalam hal ini
Penyelenggaraan konstruksi hukum
yang ruang lingkup di batasi pada definisi konstruksi hukum sebagai penggabungan
hukum, mengumpulkan/membuat siap di gunakan dari bagian bagian konstituen aturan-aturan hukum yang generalis (umum)
maupun khusus (spesialis) atau comparative (perbandingan) antara peraturan
peraturan hukum atau wacana yang sesuai dengan konteks daerah di Jawa
Timur sehingga dapat menciptakan
kesatuan aturan hukum yang mempunyai
spesifik sesuai dengan karateristik desa desa yang berada di Jawa
Timur.Konstruksi hukum yang diatur dalam UU Desa merupakan penerapan dari amanat yang sudah
tertuang dalam Norma dasar yaitu UUD 1945,
terutama apa yang tertuang dalam Pasal 18 dan pasal 18B ayat 2 yang pada
intinya Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang, serta
susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang. Berdasarkan pijakan Norma norma yang bersifat dasar yang tertuang dalam Norma yang tertinggi ini
sehingga di aplikasikan pelaksanaan operasionalnya secara umum diatur dalam UU
Desa. Konstruksi inipun didasari pada
pertimbangan Pertimbangan Filosofis, Historis
serta sosiologis. Yang tercermin didalam bagian konsideran UU Desa. Bila Kita melihat Konstruksi hukum
UU Desa didalam struktur ketatanegaraan
kita maka “Hukum yang tertinggi dibawah
undang-undang dasar adalah undang-undang sebagai bentuk peraturan yang di
tetapkan oileh legistator ( legistaor act). Namun, oleh karena materi yang
diatur dalam undang-undang itu hanya terbatas kepada soal-soal yang umum,
diperlukan pula bentuk bentuk peraturan lebih rendah ( subordinate legistation) sebagai peraturan
pelaksana undang-undang yang bersangkutan. Lagipula sebagai produk lembaga
politik, seringkali undang-undang hanya dapat menampung materi materi kebijakan
yang bersifat umum . Forum legislatif bukanlah forum teknis, melainkan forum
politik, sehingga sudah sewajarnya apabila perhatian dan kemampuan para wakil rakyat mengenai
soal-soal teknis yang rinci juga tidak dapat diandalkan”[15]
Pengaturan yang diatur dalam undang-undang
belum cukup memadai bila dilaksanakan pada tingkat operasional di desa, dibutuhkan
“ peraturan yang lebih rendah untuk mengatur pelaksanaan suatu materi
undang-undang maka kewenangan untuk lebih lanjut itu diberikan kepada lembaga
eksekutif atau lembaga pelaksana, haruslah dinyatakan secara tegas dalam undang-undang
yang akan dilaksanakan”[16]
Hal inilah yang biasa dinamakan dinamakan “
Legislatif delegation of rule-making
power.” [17]“Sebagian
terbesar dari undang-undang mendelegasikan kewenangan selanjutnya kepada peraturan Pemerintah (
PP), tetapi adapula yang memberikan delegasi langsung kepada peraturan presiden
, Peraturan Menteri, peraturan daerah provinsi ataupun Peraturan daerah Kabupaten/kota. ”[18]
Sehubungan dengan hal tersebut maka Norma
Hukum UU Desa mendelegasikan pada PP, sementara kenyataannya butuh proses dalam
pembuatan PP, pendelegasian UU desa yang
ada dalam bentuk PP baru tersedia dua PP yaitu :
Yang Pertama adalah Peraturan Pemerintah No
43 Tahun 2014 Tentang peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 tahun 2014
tentang Desa yang selanjutnya disebut PP 43/2014, dan Yang kedua adalah
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara.
Yang selanjutnya disebut PP 60/2014.
PP No 43/2014 merupakan peraturan pelaksanaan
yang mengoptimalkan penyelenggaan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
desa dan pemberdayaan masyarakat desa sedangkan PP no 60/2014 lebih
mengutamakan peraturan pelaksanaan tentang dana desa yang merupakan pejabaran
dari pasal 72 ayat 1 huruf b dan ayat 2 UU Desa dan secara khusus tentang salah
satu sumber dana pendapatan Desa yang
berasal dari alokasi Anggaran Dan Pendapatan Dan Belanja Negara yang harus
dilaksanakan secaras transparan dan akuntabel
dengan tentunya memperhatikan kemampuan Anggaran Pendapatan dan belanja
Negara sehingga perlu adanya kepastian hukum yang harus diatur dalam Peraturan
pemerintah. Dari kedua PP tersebut tentunya belum cukup untuk memagari
pelaksanaan uu desa, masih diperlukan
sepuluh pp lagi yang harus menjadi landasan operasional hukum dari UU Desa,
yaitu diperlukan Kewajiban Pemerintah
Pusat menerbitkan 10 (sepuluh) PP tentang :
Tata cara pemilihan Kepala Desa serentak
(Pasal 31 ayat (3),Pemberhentian Kepala Desa Pasal 40 ayat (4), Musyawarah Desa Pasal 47 ayat (6), Perangkat
Desa Pasal 50 ayat (2), Pemberhentian perangkat Desa Pasal 53 ayat (4), Badan
Permusyawaratan Desa Pasal 66 ayat (5), Keuangan Desa Pasal 75 ayat (3)., Pengelolaan
kekayaan milik Desa Pasal 77 ayat (3), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa , Pasal 79 ayat (5 ),Penempatan Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil Pasal
118 ayat (6). Mempersiapkan sepuluh (10) PP, Tentunya butuh waktu yang panjang
untuk menunggu Konstruksi hukum yang akan disediakan pemerintah melalui PP
sementara menurut Pasal 122 UU desa menjelaskan bahwa Undang-undang ini berlaku
pada tanggal di undangkan. Agar setiap orang mengetahuinya dan memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia sehingga mulai di undangkan di awal tahun 2014 tepatnya 15
januari 2014 menandakan bahwa UU Desa sudah berlaku di wilayah republik
Indonesia, ini tentunya perlu adanya sosialisasi yang konkrit dari Pemerintah
Pusat. Dalam hal inipun tentunya pemerintah daerah tidak boleh tinggal diam
diperlukan tanggung jawab dan kebersamaan untuk mewujudkan Pemerintahan desa
yang Mandiri, Responsif dan Partisipatoris.
Sehingga atas dasar inilah Provinsi Jawa
Timur sebagai bagian dari pemerintah Pusat ikut peduli dan berpartisipasi dalam
mewujudkan dan mengawal UU Desa. Ada tiga hal utama sebagai Konstruksi Hukum yang
harus di kerjakan oleh Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa
Timur. Konstruksi hukum yang harus dikerjakan tersebut juga harus didelegasikan
ke kabupaten kota dan desa itu sendiri sebagai perwujudan otonomi daerah yang
berkesinambungan. Sehingga ada tiga Konstruksi hukum di daerah yang harus
dilaksanakan yaitu :
Pertama,
Pemerintahan Provinsi mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab dalam hal, memberdayakan
masyarakat, dengan menerapkan hasil pengembangan iptek, teknologi tepat guna, untuk ekonomi dan pertanian.meningkatkan kualitas
pemerintahan dan masyarakat desa
melalui pendidikan , pelatihan dan
penyuluhan, pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dengan pendampingan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan (Pasal 94 ayat (4) UU DESA,
bimbingan dan pengawasan pemerintah :
antara lain memberikan pedoman standar jabatan perangakat desa; memberikan
bimbingan, supervisi, konsultasi; memberikan penghargaan atas prestasi;
melakukan diklat tertentu. Bimbingan dan pengawasan pemprov antara lain :bimtek
peningkatan kapasitas pembinaan manajemen pemerintahan desa (pasal 112 UU Desa)
serta bimbingan dan pengawasan kabupaten/kota dalam hal diklat tertentu; dan memberikan penghargaan atas prestasi.
Selain itu Pemerintah Provinsi harus mempunyai kewajiban dalam hal menetapkan Perda Provinsi tentang, Susunan
kelembagaan, pengisian jabatan, dan
masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat. (Pasal
109 UU Desa) Melakukan
penataan Desa Pasal 7 ayat (1) UU Desa,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa
mendorong perkembangan BUM Desa dengan: memberikan hibah dan/atau akses
permodalan; melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan memprioritaskan
BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.(Pasal 90 UU Desa).
Konstruksi
hukum yang Kedua adalah, tanggung jawab oleh Pemerinta Daerah dalam hal ini
pada satuan Pemerintahan kabupaten kota yaitu pada Pembentukan Desa maupun
penghapusan, penggabungan, and/atau perubahan status desa apabila menjadi
kelurahan, tata cara pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak, perangkat
desa, BPD, Penentuan desa adat serta masih banyak hal hal yang bersifat
administratif tentang operational pelaksaan pemerintahan desa yang harus di
konstruksikan dan di operasionalkan pada Pemerintah kabupaten kota.
Dan
Konstruksi Hukum yang ketiga adalah perwujudan dari uu Desa itu sendiri dIi
mana pelaksanaan otonomi desa bisa terlaksana dengan baik tentunya dengan di
landasi dengan peraturan peraturan desa yang mewadahi pelaksanaan UU desa untuk
kesehjahteraan Masyarakat. Setidaknya diperlukan beberapa peraturan desa yang
sangat penting yang harus menjadi bagian dalam Konstruksi hukum pelaksanaan UU
Desa di Jawa Timur yaitu peraturan desa
tentang RPJM Desa, RKP desa, APB Desa, Pungutan Desa, tata Ruang Desa, struktur
oirganisasi Desa serta Peraturan desa
tentang BUM-Desa. Pertanyaan kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang sudah diwacanakan pada berbagai program serta Konstruksi hukum yang
akan di wacanakan tersebut bagi lapisan masyarakat di desa terutama masyarakat
desa yang miskin yang menjadi sasarannya ? wacana Konstruksi Hukum yang sudah
dilaksanakan oleh Provinsi Jawa Timur yang diawali dengan sosialisasi uu desa
di tahun 2014 kepada Kepala desa dan camat dan dilanjutkan dengan bimbingan
thenik pada tahun tahun selanjutnya. Merupakan pemberdayaan masyarakat yang
muncul sebagai suatu kondisi sosial ekonomi
yang di pahami oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur yang harus tetap
dikawal agar mereka paham dan mampu sehingga menjadikan produktivitas mereka
mampu dalam menjalankan organisasi.Dalam pengorganisasian masyarakat desa,
kuncinya menepatkan masyarakat desa sebagai pelakunya. Untuk itu masyarakat
desa perlu diajak mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan sampai
pemeliharaan dan pelestarian. Keterlibatan masyarakat desa dari awal kegiatan
memungkinkan masyarakat desa memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Sehingga
pada jangka waktu yang sudah di harapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur masyarakat
desa sudah bisa mampu melakukan sendiri atau mandiri dalam pelaksanaaan
Penyelenggaraan Desanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ni’Matul Huda, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Nusa Media, ujung
Berung, Bandung, 2011.
Ni’ Matul Huda, Hukum Tata Negara
Kajian Teoritis Teoritis dan yuridis Terhadap konstitusi Indonesia,Pusat
studi Hukum fakultas Hukum UII,
Kerjasama dengan Gama media,Yogyakarta, 1999.
Rachmat Trijono, Dasar-dasar Ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan,Papar Sinar Sinanti , Jakarta, 2013.
Aturan Dasar dan
peraturan Perundang-undangan,
Undang-Undang
Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945.
UU
No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor.7
UU No 19 Tahun 1965 Tentang DesaPraja Lembaran Negara RI
Tahun 1965 No. 84
UU
No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 5
UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 2004 No.125 Tambahan Lembaran Negara No.4437.
UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah,Lembaran
Negara RI Tahun 2014 Nomor 24Tambahan
lembaran NegaraNo.5587.
Kamus
Black’slawDictionary,fitfthedition,Stpaulminn,westpublishing
co,Amerika,1979.
Internet
www. Dephut.go.id……diakses pada tanggal 16
desember 2014.
Jatim.bps.go.id/index.php/hal=subject.
pBadan Pusat statistic jatim….diakses pada tgl 16- desember-2014.
http
://hermans-blogspot.com /2012/02/penafsiran dan-konstruksi hukum. Di akses 21-3-2013.