PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DESA
Oleh:
Mohamad Zainul Aripin, M.Pd*
ABSTRAK
Pemberlakuan
UU Desa dengan azas utama rekognisi
dan subdidiaritas mensyaratkan desa memiliki dokumen
perencanaan pembangunan. Keberhasilan pembangunan bertitik tolak dari
perencanaan yang komprehensif, sistematis dan berkelanjutan. Perencanaan
pembangunan desa disebut baik apabila prosesnya melibatkan partisipasi kelompok-kelompok penting
masyarakat desa. Dengan terlibat, masyarakat akan tahu skala prioritas
kebutuhan yang dituangkan dalam program serta akan berperan aktif pada proses
pelaksanaan dan monitoring hasil pembangunan. Perencanaan pembangunan desa secara
partisipatif bisa dilakukan dengan tahap; a). Sosialisasi dengan mengajak
masyarakat untuk bekerjasama, b). Identifikasi data masalah dan potensi desa,
c). Analisa data potesi dan masalah, d). Menyusun program dan kegiatan, e). Dan
Menentukan skala prioritas program dan kegiatan. Rencana pembangunan desa dalam
konteks UU Desa adalah rumusan rencana program dan kegiatan yang tertuang dalam
dokumen RPJMDes dan RKPDes. Implementasi tahapan dalam perumusan perencanaan
tetap berpedoman pada ketentuan yang mengantur dalam penyusunan perencanaan
pembangunan desa yaitu Permendari No.114. Dalam peraturan ini disebutkan alur
penyusunan perencanaan pembangunan desa yaitu; 1). Pembentukan tim penyusun
RPJM Desa; 2). Penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan
kabupaten/kota; 3). Pengkajian keadaan Desa; 4). Penyusunan rencana pembangunan
Desa melalui musyawarah Desa; 5).
Penyusunan rancangan RPJM Desa; 6. Penyusunan rencana pembangunan Desa melalui
musyawarah perencanaan pembangunan Desa; dan 7). Penetapan RPJM Desa. Dalam hal
mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat pada proses penyusunan perencanaan
pembangunan desa perlu dilkukan langkah-langkah strategis. Pertama, internalisasi nilai kebersamaan, kegotongroyongan,
kejujuran melalui berbagai rangkaian pertemuan dan pelatihan-pelatihan
masyarakat. Kedua, pelembagaan
partisipasi masyarakat dengan pelibatan aktif
masyarakat pada proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
pembangunan desa. Dan ketiga,
penyediaan dana stimulan untuk proses pembelajaran masyarakat dalam proses
partisipasi pembangunan desa.
Key word: Perencanaan, partisipasi dan masyarakat desa
I.
Latar
Belakang
Pada periode awal
reformasi, pemerintah menerapkan kebijakan desentralisasi pembangunan. Daerah
diberikan kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri termasuk
dibidang pengelolaan keuangan dan strategi perencanaan pembangunan daerah. Terhadap
pemerintah daerah, kebijakan tersebut telah melahirkan dua respon yang berbeda.
Pertama, sebagian pemerintah daerah merasa
belum siap menerima perubahan paradigma pembangunan yang semula sentralistik
menjadi desentralistik. Sehingga banyak bupati dan wali kota yang gagap (sock
culture) berhadapan dengan pola dan mekanisme pembangunan yang baru
termasuk juga kebingungan dalam menggerakan roda pemerintah. Kedua, justru sebaliknya, banyak bupati
dan wali kota karena memiliki kewenangan luas berubah menjadi raja-raja kecil
didaerah. Kewenangan tersebut menjadi instrumen kekuatan mengatur daerah berdasarkan “kreatifitas” yang
terkadang melampaui batas kewenangannya itu sendiri.
Fenomena tersebut menghadirkan
sisi negatif implementasi kebijakan
otonomi daerah, walaupun dampak positifnya juga cukup banyak termasuk kemajuan
pembangunan daerah yang cukup pesat dewasa ini. Raja-raja kecil didaerah dengan
berbagai perilaku politiknya banyak terjerat kasus tindak pidana korupsi dan
atau penyalagunaan wewenang. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang kasusnya
baru diproses secara hukum justru setelah tidak menjabat sebagai kepala daerah.
Sampai kemudian muncul sebuah ungkapan dimasyarakat, jabatan bupatinya sudah
selesai tapi urusan hukumnya masih belum selesai.
Kejadian ini hampir
merata di Indonesia. Di Propinsi Jawa Timur, dari 38 Kabupaten/Kota, hampir
separuh lebih mantan bupati/wali kotanya terjerat kasus hukum. Mulai mantan
bupati atau wakil bupati di Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Situbondo, Pasuruan,
Sidoarjo, Surabaya, Kab.Mojokerto, Kota Mojokerto, Nganjuk, Bojonegoro, Kota
Madiun, Ponorogo, Trenggalek, dan Bangkalan, telah menikmati jeruji penjara
karena terjerat kasus korupsi dan atau penyalagunaan wewenang. Apakah mereka
benar-benar dengan sengaja melakukan tindakan melawan hukum atau sekedar
terjebak karena hanya kurang paham
terhadap mekanisme sistem yang baru, wallahu’alam.
Wajah negatif
desentralisai pembangunan bisa saja terjadi pada kepala desa ketika Undang-Undang
No.6 Tahun 2014, selanjutnya disebut UU Desa, diberlakukan. Kepala desa dengan
kewenangan luas mengatur rumah tangga desa, bisa saja terjebak pada masalah
hukum ketika implementsi UU Desa ini tidak di diiringi dengan persiapan matang.
Apa yang terjadi pada banyak kepala dearah diera awal pelaksanaan desentralisasi pembangunan, seharusnya
menjadi pelajaran berharga pada tahap awal pelaksanaan UU Desa.
Seperti diketahui bahwa
pengaturan desa dalam UU Desa didasarkan pada dua azas utama yaitu rekognisi dan subdidiaritas, disamping juga ada azas
yang lainya. Azas rekognisi mengandung arti pengakuan terhadap hak asal usul. Sedangkan
azas subdidiaritas yaitu penetapan
kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk
kepentingan masyarakat Desa.[1]Azas
rekognisi dan subdidiaritas pada pemerintah desa dengan azas desentralisasi dan residualitas pada pemerintah daerah
memiliki subtansi sama dan perbeda pada
pola dan tahap pemberian kewenangannya. Dengan mendasarkan pada azas
desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab
desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya
menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa
hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan
dalam bentuk Alokasi Dana Desa.[2]
Sementara azas rekognisi dan azas subdidiaritas kewenangan luas langsung diberikan
ke pemerintah desa.
Dengan demikian pemberlakuan kedua azas ini memiliki suasana batin hampir
sama, yaitu kewenangan luas untuk mengatur rumah tangga sendiri dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Yang justru perlu dipikirkan adalah bagaimana implementasi UU
Desa tidak memberikan dampat negatif sebagaimana yang terjadi ketika kebijakan
desentralisasi pembangunan diterapkan.
Terdapat dua hal penting untuk mengantisipasi dampak negatif implementasi
UU Desa. Pertama, pengatan kapasitas
pelaku pembangunan desa mulai dari kepala desa, perangkat desa, lembaga-lembaga
pemerintahan desa (BPD,LPM,dll), masyarakat dan stake holder pembangunan desa
lainnya. Peningkatan kapasitas tidak sebatas pada ketrampilan dalam hal teknis
pelaksanaan pembangunan melainkan pemahaman terhadap berbagai regulasi atau
peraturan atas keseluruhan proses pembangunan desa. Seringkali ketidaktahuan
tehadap aturan menyebabkan terjadinya pelanggaran walaupun hal itu tidak
disengaja. Pelaksanaan pembangunan yang baik tidak semata-mata berorientasi
pada kepentingan kesejahteraan rakyat semata melainkan implementasinya tidak
melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Kedua,
tidak kalah penting, adalah persiapan pembangunan dalam bentuk menyusun dokumen
perencanaan pembangunan desa yang sistematis dan berkesinambungan. Penulis
berasumsi bahwa banyaknya bupati/walikota yang terjerat kasus hukum salah
satunya dikarena pada saat itu pemerintah daerah tidak memiliki perencanaan
pembangunan yang matang. Dengan banyaknya urusan serta besarnya tanggungjawab
pengelolaan keuangan dan apabila tidak diiringi dengan perencanaan matang maka akan
membuat pelaku kebijakan tergagap-gagap. Demikian pula dalam konteks
pengelolaan desa, dengan banyaknya urusan desa maka manajemen pengelolaan
pembangunan desa tidak bisa dijalankan dengan cara mengalir tanpa perencanaan.
Karena perencanaan pembangunan yang amburadul akan bisa menjadi salah satu sebab
pelaku pembangunan ditingkat desa terjebak pada masalah hukum. Dengan demikian
perencanaan pembangunan menjadi kata kunci bagi proses pembangunan desa
dimasa yang akan datang.
Makalah sederhana ini
akan menguraikan tentang bagaimana perencanaan pembangunan desa yang melibatkan
partisipasi masyarakat dilakukan. Bagamaimana eksistensi partisipasi masyarakat
dalam konteks implementasi UU Desa? Bagaimana Perencanaan Pembangunan Desa yang
partisipatif dalam koridor peraturan hukum yang ada? Dan bagaimana strategi
mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses pembangunan
desa dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan moniroting/pengawasan pembangunan?
II.
Partisipasi
Masyarakat Dalam UU Desa
Strategi pembangunan yang menggunakan
pendekatan pemberdayaan masyarakat mensyaratkan adanya keterlibatan langsung
rakyat atau partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam arti sebagai
usaha mengoptimalkan potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat,
mengandung maksud partisipasi masyarakat pada setiap tahap pembangunan desa itu
sendiri. Baik partisipasi dalam perencanan, pelaksanaan dan evaluasi/kontrol
pembangunan.
Dengan
mengutip pengkategorian oleh Deshler dan
Sock , disebutkan bahwa secara garis besar terdapat tiga
tipe utama partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi
semu (pseudo participation), dan
partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine
participation). Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya
sepadan dengan dua tipe partisipasi yang ditemukan dalam
referensi lain, yaitu partisipasi untuk partisipasi yang digunakan dalam
pengembangan program, dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang
merambah ke dalam isu demokratisasi.[3] Partisipasi teknis adalah
keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data,
analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini
adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
praktis dalam konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi asli, adalah keterlibatan masyarakat di
dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi
dimensi politis, ekonomis, ilmiah, dan ideologis, secara bersamaan.
Pengembangan partisipasi dalam ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol
lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat
dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi. Sedang partisipasi
semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok
dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat
hanya sekedar obyek.
Pratisipasi masyarakat dalm konteks
perencanaan pembangunan desa adalah bukan partisipasi semu melainkan
partisipasi teknis dan asli. UU Desa memberikan ruang bagi pelaksanaan
partisipasi masyarakat teknis dan asli tersebut. Disebutkan bahwa salah satu
tujuan pengaturan desa ini adalah untuk mendorong prakarsa, gerakan dan
partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna
kesejahteraan masyarakat.[4]
Partisipasi teknis dibutuhkan ketika masyarakat terlibat dalam proses
pengumpulan data, identifikasi potensi dan masalah dalam pelaksanaan kegiatan.
Sementara partisipasi asli dalam pengertiannya sebagai peningkatan kapasitas
masyarakat melakukan kontrol lebih tepat
digunakan dalam kaitannya dengan proses evaluasi dan kontrol terhadap proses
pembangunan desa secara keseluruhan.
Implementasi UU Desa memberikan dorongan
kuat munculnya partisipasi asli masyarakat dalam kontek pembangunan desa. Pada
penjelasan UU Desa di sebutkan bahwa upaya mendorong partisipasi masyarakat ini
dilakukan melalui penguatan lembaga kemasyarakatan desa. Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat
Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang
mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta
menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan
pembangunan.[5]
Usaha untuk mendorong partisipasi
masyarkat dalam pembangunan desa ini sejalan dengan kesadaran negara bahwa
masyarakat memiliki potensi dan memegang peranan penting dalam pembangunan
didesa. Eksistensinya tidak hanya sebatas obyek melainkan juga subyek utama
pembangunan. Sebab partisipasi masyarakat ini
akan memberikan nilai positif setidaknya untuk tiga hal. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan atau perumusan agenda pembangunan akan mendekatkan rencana hasil
pembangunan kepada aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa. Sebab dalam
perencanaan pembangunan partisipatif rencana yang dimaksudkan akan
menggambarkan kehendak dan kebutuhkan masyarakat secara riil. Kedua, keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan akan banyak mengurangi biaya pembangunan. Atau dengan
kata lain biaya pembangunan akan jauh lebih efesien dibanding program-program
pembangunan yang dikontraktualkan dengan pihak ketiga. Partisipasi masyarakat
yang diwujudkan dalam bentuk swadaya,
baik swadaya uang, tenaga kerja, barang dan pemikiran/ide, membuat biaya
pembangunan menjadi minimal dengan hasil yang maksimal. Pengalaman pelaksanaan
program seperti PNPM-Mandiri baik
Perkotaan maupun Perdesaan memberi pelajaran berharga akan hal itu. Ketiga,
partisipasi masyarakat dapat mendorong terciptanya proses pembangunan
yang lebih transparan dan akuntable. Mekanisme kontrol masyarakat menjadi
bagian penting terwujudnya transparansi dan pertanggungjawaban pada setiap
penggunaan keuangan dalam pembangunan.
Dorongan munculnya partisipasi
masyarakat mendapatkan ruang dalam setiap aspek kewenangan yang diberkan kepada
desa. Dalam pasal 68 pasal 1 point c yang terkait dengan hak masyarakat
disebutkan bahwa masyarkat berhak untuk menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara
bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.[6] Dalam
perspektif ini partisipasi masyarakat justru lebih luas karena tidak sebatas
pada perencanaan pembangunan saja melainkan pada aspek lain yang terkait dengan
kewenangan desa.
III.
Perencaan
Partisipatif Pembangunan Desa
Sebagaimana
disebutkan bahwa UU Desa memberikan kewenangan luas pada desa untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Dalam Pasal 19 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat
mempunyai empat kewenangan, meliputi :
a)
Kewenangan
berdasarkan hak asal usul.
b)
Kewenangan lokal berskala
Desa.
c)
Kewenangan
yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah
daerah kabupaten/kota.
d)
Kewenangan
lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[7]
Dari empat kewenangan
tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan
lokal berskala desa, terdapat beberapa prinsip penting yang dimiliki desa.
Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu)
yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam
UU No. 32 Tahun. 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun. 2005
tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas.
Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh
undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.[8]
Dalam konteks
pelaksanaan kewenangan berskala lokal, pemerintah desa diharuskan menyusun
sebuah perencanaan pembangunan dengan melibatkan partisipasi kelompok-kelompok
penting masyarakat desa. Sebuah perencanaan
yang prosesnya baik dan melibatkan partisipasi masyarakat maka akan melahirkan
program yang baik. Dengan terlibat dalam perencanaan masyarakat akan bisa
menentukan sendiri skala prioritas kebutuhan yang perlu dituangkan dalam
rumusan program kegiatan pembangunan desa. Dan dengan terlibat maka pada
gilirannya dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan
desa.
Proses partisipasi
masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa tetap memperhatikan aspek hukum
dan peraturan yang berlaku. Dalam konteks UU Desa, regulasi yang menjadi
landasan penyusunan perencanaan pembangunan desa adalah Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 114 tahun 2014, tentang Pedoman Pembanguna Desa, selanjutnya disebut
Permendagri No.114. Makna perencanaan
pembangunan desa menurut permendagri
No.114 adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah
Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara
partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan desa.[9] Dengan demikian proses
perencanaan merupakan kerja kolektif antara pemerintah desa, BPD dan berbagai
unsur masyarakat secara bersama-sama dalam kedudukan yang seimbang.
Hasil kerja perencanaan
partisipatif dituangkan dalam dokumen perencanaan desa yaitu Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa
(RKP Desa). RPJMDes disusun secara berjangka enam tahun sedangkan RKP Desa
selama satu tahun. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Permendagri No.114
disebutkan bahwa Perencanaan
pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi:
a.
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun;
dan
b.
Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau
yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP DESA), merupakan penjabaran
dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
c.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa, ditetapkan dengan Peraturan Desa.[10]
Untuk mendapatkan
produk perencanaan yang sesuai dengan harapan masyarakat, proses perencanaan
bisa menggunakan metodologi ilmiah yang sudah baku dijalankan. Menurut Wahyudin
Kessa, bahwa untuk melakukan
pemecahan masalah bersama masyarakat, dilakukan dengan tahapan-tahapan: a)
Sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat untuk bekerjasama. Hasilnya
berupa kesepakatan dan komitmen antara masyarakat dan fasilitator; b)
Kesepakatan ditindaklanjuti dengan melakukan pengumpulan data, menggunakan
metode dan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA), survei, dan
obesrvasi; c) Data yang dikumpulkan menjadi Profil, yang menggambarkan keadaan
terkini, berupa rangkaian angka (data kuantitatif) dan rangkaian kata-kata
(data kualitatif); d) Profil menjadi lebih bermakana melalui analisis yang
dilakukan secara partispatif maupun melalui analisis statistik. Hasil analisis,
kemudian menjadi bahan dasar untuk menyusun rencana kegiatan (untuk memecahkan
masalah), dan sebagai bahan dasar untuk mendisain program stimulans untuk
mempertahankan kerjasama, dan; (e) Pada akhirnya, secara bersama-sama akan
menemukan program utama, dengan dimensi waktu tahunan atau multi tahun,
bagaimana bersinergi dengan berbagai pihak yang bekerja bersama masyarakat, melalui
beberapa bentuk pembiayaan dan kegiatan.[11]
Permendagri No.114
telah menyajikan alur perencanaan pembangunan desa yang disatu sisi memuat
subtansi metodologi ilmiah dan disisi lain tetap mempertimbangkan aspek
partisipasi masyarakat. Disebutkan bahwa :
1)
Kepala
Desa menyelenggarakan penyusunan RPJM Desa dengan mengikutsertakan unsur masyarakat Desa.
2)
Penyusunan RPJM
Desa dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi objektif Desa dan prioritas
program dan kegiatan kabupaten/kota.
3)
Penyusunan
RPJM Desa, dilakukan dengan kegiatan yang meliputi:
a.
Pembentukan
tim penyusun RPJM Desa;
b.
Penyelarasan
arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota;
c.
Pengkajian
keadaan Desa;
d.
Penyusunan
rencana pembangunan Desa melalui musyawarah Desa;
e.
Penyusunan
rancangan RPJM Desa;
f.
Penyusunan
rencana pembangunan Desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan Desa; dan
g.
Penetapan
RPJM Desa.[12]
Secara lebih koprehensif
penyusunan perencanaan pembangunan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat
sebagaimana tertuang dalam Permendagri No.114 dapat disajikan dalam matrik
tahapan sebagai berikut;
MATRIKS TAHAPAN PENYUSUNAN RPJM
DESA[13]
No
|
TAHAPAN/KEGIATAN
|
HASIL/OUPUT
|
KETERANGAN
|
1
|
Pembentukan Tim Penyusun RPJM Desa
|
Terbentuknya Tim Penyusun RPJM Desa
beranggotakan 7-11 orang
|
Dibentuk oleh kelapala desa dengan, SK Kepala Desa
|
2
|
Penyelarasan
Arah Kebijakan Pembangunan Kabupaten/ Kota
|
Data dan analisis :
·
Rencana pembangunan jangka menengah
daerah kabupaten/kota;
·
Rencana strategis satuan kerja
perangkat daerah;
·
Rencana umum tata ruang wilayah
kabupaten/kota;
·
Rencana rinci tata ruang wilayah
kabupaten/kota; dan
·
Rencana pembangunan kawasan
perdesaan
|
Dilakukan oleh Tim Penyusun RPJM Desa.
|
3
|
Pengkajian Keadaan Desa
|
·
Penyelarasan data Desa (data
sekunder)
·
Penggalian gagasan masyarakat,
untuk melihat potensi dan masalah.
·
Penyusunan laporan hasil
pengkajian keadaan Desa
|
Dilakukan oleh Tim Penyusun RPJM Desa.
|
4
|
Analisa Data dan Pelaporan
|
·
Data Desa yang sudah
diselaraskan;
·
Data rencana program pembangunan
kabupaten/kota yang akan masuk ke Desa;
·
Data
rencana program pembangunan kawasan perdesaan; dan
·
Rekapitulasi
usulan rencana kegiatan pembangunan Desa dari dusun dan/ atau kelompok
masyarakat.
|
Tim Penyusun RPJM Desa
|
5
|
Penyusunan Rencana Pembangunan Desa melalui musyawarah
Desa
|
Berita
acara Penyusunan Rancangan RPJM desa, yang dilampiri;
·
Laporan hasil pengkajian keadaan
Desa;
·
Rumusan arah kebijakan pembangunan
Desa yang dijabarkan dari visi dan misi kepala Desa; dan
·
Rencana prioritas kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan Desa, pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
|
·
BPD
·
Tim Penyusun RPJM Desa
·
Masyarakat Desa
|
6
|
Penyusunan Rancangan RPJM Desa
|
Rancangan
RPJM Desa yang mendapatkan persetujuan Kepala Desa
|
Tim Penyusun RPJM Desa
|
7
|
Penyusunan Rencana Pembangunan Desa Melalui Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa.
|
Rancangan RPJM Desa dibahas melalui musyawarah desa dan
disepakati oleh peserta Musyawarah Desa
Untuk ditetapkan sebagai RPJM Desa.
|
·
BPD
·
Tim Penyusun RPJM Desa
·
Masyarakat
Desa
|
8
|
Penetapan dan
perubahan RPJM Desa
|
Rancangan peraturan Desa tentang RPJM Desa dibahas dan
disepakati bersama oleh kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Desa tentang RPJM Desa
|
·
Kades
·
BPD
|
IV.
Strategi
Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa
Usaha mendorong partisipasi masyarakat untuk mengambil bagian dalam
pembangunan desa bukan pekerjaan yang sederhana. Peranan negara yang demikian
dominan pada masa orde baru menjadikan sebagai besar masyarakat berada pada
budaya pasif, menjadi kendala cukup berarti. Paradigma bahwa pembangunan hanya
menjadi kewajiban pemerintah masih tertanam ditengah masyarakat. Kondisi ini
menjadi hambatan tersendiri dalam mendorong partisipasi masyarakat. Oleh
karenanya dibutuhkan konsep dan strategi yang matang sehingga potensi-potensi
partisipatif dan keswadayaan dimasyarakat bisa dioptimalkan untuk pembangunan
desa.
Seperti halnya kerja pemberdayaan, maka usaha mendorong partisipasi
masyarakat juga tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sekali lagi hal ini
terkait dengan perubahan cara berpikir, bersikap dan berprilaku masyarakat,
khususnya yang terkait dengan keterlibatannya dalam kepentingan publik. Oleh
karenanya upaya sistematis dan berkelanjutan menuju kearah masyarakat yang
lebih peduli terhadap kepentingan publik harus terus menerus dilakukan.
Secara umum terdapat tiga langkah startegis dalam mewujudkan partisiasi
masyarakat dalam pembangungan desa. Pertama, upaya rasional yang dilakukan
adalah melakukan internalisasi nilai-nilai universal seperti kejujuran,
kegotong-royongan, kebersamaan dan lain-lainya. Upaya bisa dilakukan melalui
berbagai forum pertemuan, pelatihan, pendidikan dan penyuluhan yang
diselenggarakan untuk pemangku kepentingan dan aktor-aktor pemperdayaan
masyarakat. Maka pendekatan
untuk mendorong partisipasi masyarakat yang digunakan disesuai dengan
karakteristik social, budaya dan geografis setempat.
Kedua,
pelembagaan partisipasi masyarakat melalui penguatan kapasitas lembaga masyarakat yang
konsen terhadap isu-isu pembangunan didesa
dan lembaga pemerintahan desa yang representatif, akuntabel, dan mampu menyuarakan kepentingan masyarakat
dalam proses-proses pengambilan keputusan.
Ketiga,menyediakan bantuan langsung kemasyarakat secara transparan untuk
mendanai kegiatan-kegiatan pembangunan yang mudah dilakukan oleh masyarakat dan
membuka kesempatan kerja. Strategi ini ditempuh dengan melalui pembangunan ekonomi lokal
,pembangunan sarana / prasarana lingkungan ,pembangunan SDM berupa kegiatan
pelatihan-pelatihan ditingkat masyarakat.
Dalam kaitan
dengan ketiga strategi diatas, kerangka kebijakan pembangunan desa dalam UU
Desa telah memberikan peluang bagi usaha tumbuhnya partisipasi masyarakat
dengan wadah dan regulasi yang jelas. Persoalannya adalah bagaimana pengawalan
terhadap implementasi regulasi tersebut. Sebaik apapun kebijakan dirumuskan
apabila pengawalan implementasinya tidak optimal maka tujuan kebijakan tersebut
tidak akan tercapai. Termasuk dalam konteks perencanaan pembangunan
partisipatif melalui implementasi UU Desa.
*.
Asisten Koordinator Kota Bidang Community Develoment PNPM-Mandiri Perkotaan
DAFTAR PUSTAKA
- Undang-undang Nomor 6, Tahun 2014, Tentang Desa.
- Peraturan Pemerintah Nomor 43, Tahun 2014, Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114, Tahun 2014, Tentang Pedoman Pembangunan Desa.
- Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor; 5, Tahun 2015, Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
- Impact Assment For Development Agencier, Christ Roche, OXPAM-NOVIB, 1999
- Kurniawan, Borni. Desa Mandiri Desa Membangun, Jakarta;Kementrian DPDT, 2015
- Kessa, Wahyudin. Perencanaan Pembangunan Desa, Jakarta: Kementrian DPDT, 2015.
- Silahudin,M. Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, Jakarta: Kementrian DPDT, 2015.
[1] Penjelasan Undang-Undang No.6 Tahun 2014
[2] M.Silahudin, Kewenangan Desa dan
Regulasi Desa (Jakarta: Kementrian
DPDT, 2015) hal 11.
[3] Deshler dan Sock dalam Buku Impact Assment For Development Agencier,
Christ Roche, OXPAM-NOVIB, 1999
[4] Undang-Undang No.6 Tahun 2014,Pasal 4.
[5] Ibid, Pasal penjelasan
[6] Ibid, pasal 68 ayat 1 point c.
[7] Ibid, pasal 19
[8] M.Silahudin, Kewenangan Desa dan
Regulasi Desa (Jakarta: Kementrian
DPDT, 2015) hal 11.
[9] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 114 Tahun 2014, pasal 1.
[10] Ibid, Pasal 4.
[11] Wahyudin Kessa,Perencanaan
Pembangunan Desa (Jakarta: Kementrian
DPDT, 2015) hal 14.
[12] Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor;114 Tahun 2014, pasal
[13] Wahyudin Kessa, Perencanaan Pembangunan Desa, (Jakarta: Kementrian DPDT, 2015) hal 33.