PEMBARUAN PERAN PEREMPUAN SEBAGAI STRATEGI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA
DI JAWA TIMUR
Oleh: Kurnia Rahmani, S.S
Abstraksi
Menampilkan
kemiskinan berwajah perempuan desa akibat pilihan model pembangunan selama ini,
maka terjadi pencerabutan sumber-sumber penghidupan masyarakat terlebih pada
perempuan sampai tingkat desa bahkan sampai tingkat rumah tangga. Desa bukan
lagi tempat yang nyaman dan aman untuk menunjang kehidupan warganya[1]
Mendekati
kemiskinan dari sisi manusia bukan isu. Secara teoritis kemiskinan dapat dan
harus terukur, bukan untuk tujuan kuantitatif empiris ilmu, tetapi agar dapat
langsung menjangkau target, yakni manusia yang paling berkompeten orang-orang
miskin itu sendiri sebagai subjek pengentasan. Sebagai bantuan teoritis empiris
harus selalu dibaca dan dipakai dalam kerangka menolong pemberdayaan rakyat jelata termasuk petani gurem dari yang
paling gurem. Merekalah yang ditolong agar mampu berdaya sendiri, bukan agar
tetap jadi proyek tolong selamalamanya.[2]
1.
POTRET
KONDISI PEREMPUAN
Permasalahan kemiskinan
dan perempuan menjadi bagian penting dalam pembangunan desa. Ini terjadi karena
mayoritas golongan miskin di desa adalah kaum perempuan, perempuan mengalami
pemiskinan karena peran gendernya. Dalam berbagai potret permasalahan
kemiskinan di desa, situasi memprihatinkan bagi perempuan dengan terbatasnya kesempatan
untuk memperoleh informasi dan pengetahuan baru, memperoleh sumber-sumber
kehidupan, mendapatkan pelayanan kesehatan yang peka terhadap perempuan, akses
memperoleh pendidikan memadai, maupun memperoleh kesempatan kerja dan kebutuhan
lainnya.Dalam bidang kesehatan,
angka kematian ibu hamil dan melahirkan adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup
(2010), lima kali lebih tinggi dibanding Filipina. Sedangkan dalam bidang
pendidikan, penduduk perempuan berusia
10 tahun ke atas yang belum atau tidak pernah sekolah angkanya dua kali lipat
penduduk laki-laki, yakni 11,56% berbanding 5,43%. Kondisi miskin juga
mendorong perkawinan di bawah umur. Riset Kesehatan Dasar 2010 (Riskesdes)
menemukan hampir 50% perempuan menikah pertama kalinya di bawah usia 19 tahun.
Pernikahan dini berdampak pada kesehatan reproduksi ibu dan umur harapan hidup
bayi yang dilahirkan. Riset ini juga mengidentifikasikan bahwa pernikahan dini
kebanyakan terjadi pada perempuan pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus
ekonomi termiskin, serta terjadi pada keluarga tani, nelayan, dan buruh[3].Kesehatan
dan kesejahteraan perempuan sangat penting tidak saja bagi pemenuhan hak hidup
bagi mereka, tetapi juga dalam mengatasi masalah politik, ekonomi, sosial,budaya,
dan tantangan pembangunan ke depan. Artinya
meningkatnya kesehatan dan kesejahteraan perempuan akan meningkatkan status
kesehatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan di desanya.
Salah Satu Peserta Diklat Desa (Dokumentasi CSWS) |
Permasalahan
mendasar selama ini adalah masih rendahnya partisipasi perempuan dalam kegiatan
publik seperti pengambilan keputusan dan pembangunan desa. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan hanya dalam mobilisasi
kehadiran dan masih mendapatkan perlakuan diskriminatif.Keterlibatan perempuan
dalam setiap proses pembangunan baru sebatas pada memenuhi kuantitas untuk
keseimbangan jumlah peserta antara laki-laki dan perempuan, belum pada
kualitas. Dalam kata lain perempuan berpartisipasi tetapi tetap
termarjinalisasi. Partisipasi bisa jadi membingungkan bagi perempuan, bila dilihat
secara fisik dan sosial perempuan aktif berpartisipasi, tetapi perempuan tidak
dipandang dapat berpartisipasi secara budaya, ekonomi, dan politik, karena
meski perempuan terlibat pada banyak interaksi sosial, namunhak-hak mereka
tetap termarjinalisasi.
Dalam
penyusunan perencanaan pembangunan desa,sejak dimulai dari musyawarah di dusun
sampai pada musyawarah perencanaan pembangunan di desa, selama ini perempuan tidak menjadi
bagian dalam pengambilan keputusan. Umumnya gagasan bagi kebutuhan perempuan diwakili
oleh laki-laki yang
dianggap mampu berempati pada mereka. Bahkanseringkali bukan merupakan representasi
berdasarkan pada empati tetapi sekedar simpati. Akhirnya dalam penyusunan
kebijakan sampai saat ini masih belum diprioritaskan pemenuhan hak-hak perempuan.
Sehingga kebutuhan perempuan seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, akses
kepada air bersih, dan permasalahan
perempuan
lainnya masih belum terpenuhi.Kondisi tersebut menunjukkan bahwa belum ada
upaya yang jelas pada pemenuhan kebutuhan warga desa sendiri terutama bagi
perempuan, anak-anak, dan kaum miskin. Dalam hal ini bisa lihat dariRPJMDes dan
RKPDes serta cakupan APBDes sebagian besar tidak berpihak terhadap kebutuhan perempuan.
Ini jelas terjadi karena pelaksanaan penyusunannya tidak dilakukan secara
partisipasi dengan melibatkan perempuan dan kaum miskin. Proses pengambilan
keputusan yang tidak partisipatif ini memiliki kencenderungan tidak transparan,
karena keputusan yang diambil dilakukan oleh kalangan tertentu. Tidak adanya
partisipasi dan transparansi mengakibatkan upaya melakukan pengawasan tidak
bisa dilakukan dan akuntabilitas juga patut dipertanyakan.
Selama
ini nampak seolah-olah ada keberpihakan kepada pemberdayaan perempuan dalam
proses pembangunan masyakat desa. Namun, prakteknya ternyata keberpihakan
tersebut masih semu, belum dilihat sebagai sebuah proses pemberdayaan. Contoh,
dalam setiap aktivitas yang bersifat publik, keterlibatan perempuan sering kali
secara sengaja maupun tidak berada pada peran domestik. Misalnya urusan
konsumsi, notulensi, dan peran yang membutuhkan “sentuhan” keperempuanan.Satu
hal lain, dalam menyusun sebuah kebijakan pemberdayaanperempuan ternyata
keterlibatan perempuan juga kecil karenaregulasi yang tidak partisipatif.
Kebijakan yang akan diambil dilakukan secara sepihak oleh golongan tertentu,
maka program pemberdayaan perempuan yang disusun amat sedikit melibatkan
perempuan. Semestinya dalam menyusun kebijakan pemberdayaan perempuan ini, dilakukan
dengan transparan dan proses yang dilakukan tidak sekedar formalitas. Sehingga program
pembangunan yang pro-poor dan
pro-perempuan diupayakan dapat dilakukan sebaik mungkin.
2.
PEMBARUAN
PERAN PEREMPUAN
Kondisi
tersebut di atas memerlukan perubahan yang tepat agar keseimbangan dan keadilan
gender bisa terpenuhi sekaligus dapat menciptakan sumber daya manusia yang
memadai di masyarakat.Partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan di desa
sangat diperlukan, termasuk dalam
memberikan gagasan-gagasan yang bermanfaat dan dapat memenuhi kebutuhan untuk perbaikan kualitas kehidupan mereka. Perempuan
memiliki pengalaman, masalah, dan kebutuhan yang berbeda dalam kehidupannya,
sehingga partisipasi perempuan mutlak diperlukan dalam pembangunan desa.Keterlibatan
perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan kebijakan publik semestinya
menggunakan ukuran kualitas yang tidak membedakan atau tidak mendiskriminasi. Dalam
hal initujuan utama adalah pembaruan peran perempuan untuk terlibat aktif di
desa bukan hanya hadir secara kuantitas namun juga secara kualitas, yaitu
terlibat aktif membuat keputusan, menyusun perencanaan, serta melakukan
pengawasan dan penilaian.
Pembaruan
peran perempuan desa tidak serta merta mudah dilakukan, perempuan akan memiliki
banyak tantangan untuk memperbarui peran dalam lingkungan budaya patriarkhi
yang melingkupinya. Budaya, tafsir nilai-nilai agama serta kebijakan
pembangunan seringkali menyebabkan perempuan mendapat perlakuan berbeda yang
merugikan perempuan. Hal ini menjadi tantangan berat bagi perempuan untuk
memperoleh akses terhadap berbagai sumberdaya yang bermanfaat dalam memperbaiki
kondisinya dan memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, terlebih pada
perempuan keluarga miskin dan perempuan di perdesaan. Dalam situasi sekarang
ini ada beberapa tantangan yang masih dihadapi oleh perempuan itu sendiri,
antara lain: 1) adat dan agama; 2) desentralisasi memperlihatkan dua sisi, yakni
bangkitnya kekuatan demokrasi dan anti demokrasi lokal secara bersamaan.
Keduanya tanpa kontrol dari perempuan, sehingga akan berpotensi memarjinalkan
perempuan; 3) masih rendahnya pemahaman tentang pemerintahan desa yang otonom
menjadi tantangan bagi partisipasi perempuan; 4) skema proyek yang berbeda-beda
menimbulkan konflik dan mematikan potensi kepemimpinan perempuan.
Upaya
konkret untuk pembaruan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan di
desa, misalnya: 1) melibatkan dalam pengambilan keputusan pada musyawarah –
musyawarah desa; 2) memberikan peluang menjadipemimpin BPD atau lembaga
kemasyarakatan lain; 2) melibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, dan evaluasi pembangunan desa; 3) melibatkan dalam identifikasi kebutuhan khusus yang
berhubungan dengan permasalahan perempuan; 4) melibatkan dalam proses
pengalokasian anggaran; 5) memudahkan akses dan melindungi hak-hak perempuan
sebagai warga masyarakat; serta 6) melakukan pengorganisasian untuk menguatkan
posisi perempuan di wilayahnya. Beberapa strategi yang layak diterapkan untuk
melakukan pembaruan peran perempuan adalah sebagai berikut:
1. memberikan
peluang dan kontrol agar perempuan lebih terlibat aktif dalam pengelolaan
sumber daya dan mekanisme pasar;
2. mengembangkan
usaha ekonomi produktif rumah tangga yang mampu meningkatkan pendapatan
keluarga dan menyerap tenaga kerja di lingkungannya;
3. memberikan
peluang dan kemudahan kepada perempuan untuk mendapatkan kemudahan sumberdaya
finansial untuk memenuhi kebutuhan usaha dan keluarganya. Pertumbuhan keuangan
lokal di perdesaan menjadi salah satu instrumen dalam pengentasan kemiskinan;
4. merancang
program atau kegiatan yang majemuk di desa, dimana pemberdayaan dilakukan
secara riil melalui peningkatan ekonomi keluarga. Pastikan semua kegiatan di
desa selalu memperhatikan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan.
Keseimbangan ini mulai dari jumlah kehadiran, keterlibatan, dan sumbang
sarannya;
5. memastikan
indikator keberhasilan program atau kegiatan yang dilakukan di desa, manfaatnya
dirasakan secara nyata oleh perempuan;
6. merekrut
dan melatih perempuan sebagai jasa layanan masyarakat. Peningkatan jumlah
tenaga kerja perempuan di garis depan akan memberikan pelayanan lebih baik,
pengembangan usaha, konservasi lingkungan sebagai salah satu jalan untuk
meningkatkan keseimbangan pelayanan dasar;
7. melindungi
hak perempuan dan mengontrol pertumbuhan ekonomi agar mereka mendapatkan aset
untuk peningkatan pendapatan;
8. mengembangkan
riset pengetahuan yang memberikan informasi bagi pengambil kebijakan, serta
melakukan gender assesment, asistensi
teknis, dan konsultasi yang langsung memberikan informasi praktis bagi
pengambilan keputusan.[4]
3.
STRATEGI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Undang-undang
No.6 Tahun 2014 tentang Desa, mendefinisikan “pemberdayaan masyarakat desa
sebagai upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan,
dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat desa”[5].Pemberdayaan
masyarakat tentu tidak terlepas dari penetapan kebijakan, program, kegiatan,
dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat desa.
Strategi
pemberdayaan masyarakat yaitu memperkuat pemihakan kepada kepentingan kaum
perempuan dan kaum miskin; mendorong dan memperkuat peran dan fungsi lembaga
masyarakat; mendorong pengambilan keputusan melalui musyawarah masyarakat atau
wakil masyarakat; melakukan transformasi sosial khususnya prinsip tata kelola
pembangunan dgn memperkenalkan proses pembangunan partisipatif yang
dilaksanakan secara konsisten; menghidupkan kembali dan memperkuat social
capital masyarakat; membangun kesadaran kritis masyarakat dan menumbuhkan
kepercayaan bahwa masyarakat mampu melaksanakan pembangunan dan menyediakan
layanan dasar; dan memfasilitasi peningkatan kapasitas warga. Isu perempuan
masih cukup relevan terus diangkat dan diupayakan sebagai bagian dari strategi
pemberdayaan masyarakat. Sehingga keterlibatan perempuan dalam mengambil
keputusan kebijakan publik merupakan bagian dari proses memberdayakan
masyarakat secara keseluruhan. Tindakan diskriminatif dapat diupayakan
dihindarkan dari proses pembangunan.
Undang-undang No.6 Tahun 2014
tentang Desa membawa paradigma baru bagi desa dalam hal prakarsa dan kewenangan
desa untuk mengatur serta mengelola desanya. Desa harus mampu menyediakan
sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Desa harus dapat melakukan tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Tatanantersebut di atasharus mampu
mendorong keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan sesuai dengan
prinsip partisipasi, kesetaraan, keterwakilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Dalam tatanan yang seperti itu maka proses pengambilan keputusan bersifat
desentralistik dan demoktratis sehingga memberi ruang yang memberikan
kesempatan kepada siapa saja teruatama kaum perempuan dan golongan miskinuntuk
berpartisipasi dalam mengambil keputusan kebijakan di desa. Upaya perbaikan tata
pemerintahan desa berdasarkan kebutuhan yang dirasakan warga masyarakat desa,
terutama penyelesaian masalah kemiskinan dan perempuan.
Dalam
melakukan hal tersebut langkah-langkah strategis desa dalam menempuh jalan
pembaruan desa ada 3 yaitu: 1) menyusun perencanaan pembangunan desa dan
kawasan perdesaan yang partisipatif sesuai dengan tujuan dan kebutuhan
pembangunan desanya, 2) pengelolaan potensi/aset desa sebagai sumber-sumber
pendanaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa, 3)
mengembangkan sistem informasi desa untuk transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan pemerintahan serta kepentingan pembangunan desa.Pengambilan
keputusan dalam setiap kebijakan di desa selayaknya melibatkan perempuan.
Dukungan dari perempuan yang solid dan masif tentunya akan memperkuat posisi
kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan tersebut. Hal ini akan menjadi
langkah strategis untuk memberdayakanseluruh masyarakat desa,termasuk perempuan
dan golongan miskin agar terlibat menjadikan desa kuat, maju, mandiri, dan
demokratis.
Daftar
Pustaka
Dewi,
Rossana, Titik Eka Sasanti & Irma Suzanti, 2014. Buku Pintar Reposisi Peran
Publik Perempuan Di Desa, Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa
(FPPD).
Eko,
Sutoro, 2008. “Masa Lalu, Masa Kini Dan Masa Depan Otonomi Desa”, Yogyakarta;
IRE’S INSIGHT.
Eko,
Sutoro, 2014. “Buku Pintar; Kedudukan dan Kewenangan Desa”, Yogyakarta; Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
Jahja,
Ranggoaini, Bambang Herry & M.Afandi, 2014. “Buku Pintar; Sistem
Administrasi dan Informasi Desa”, Yogyakarta; Forum Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD).
Murtiono,
Yusuf & Wulandari, 2014. “Buku Pintar; Perencanaan dan Penganggaran Desa”,
Yogyakarta; Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
Mustafainah,
Aflina, dkk., 2012. “Pencerabutan Sumber-sumber Kehidupan (Pemetaan Perempuan
dan Pemiskinan dalam Kerangka HAM), Jakarta: Komnas Perempuan.
Sajogyo,
2006. Ekososiologi Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani Dan
Perdesaan Sebagai Uji),Yogyakarta; Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Zakaria,
R.Yando, 2014. “Menata Desa, Menyembuhkan Indonesia” Mantan Tenaga Ahli Panitia
Khusus RUU Desa, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Undang-Undang
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Peraturan
Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 114 tentang Pedoman Pembangunan Desa
[1]Mustafainah, Aflina, dkk., 2012. “Pencerabutan Sumber-sumber Kehidupan
(Pemetaan Perempuan dan Pemiskinan dalam Kerangka HAM), Jakarta: Komnas
Perempuan
[2]Sajogyo, 2006. Ekososiologi Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi
(Petani Dan Perdesaan Sebagai Uji),Yogyakarta; Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
[3]Mustafainah, Aflina, dkk., 2012. “Pencerabutan Sumber-sumber Kehidupan
(Pemetaan Perempuan dan Pemiskinan dalam Kerangka HAM), Jakarta: Komnas
Perempuan
[4]Dewi, Rossana, Titik Eka Sasanti & Irma Suzanti, 2014. Buku Pintar
Reposisi Peran Publik Perempuan Di Desa, Yogyakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD).
[5]Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa