Abstraksi:
……desa tidak pernah benar-benar pulih dalam hal rest
and order (ketenangan dan keteraturan)-nya. Pembangunan masyarakat desa telah
gagal mencapai tujuannya karena dilakukan dengan cara-cara teknokaratis dan
paternalistik, oleh sebab itu keberadaan dan peran institusi-institusi
ekonomi-politik bentukan Negara yang selama ini sarat dengan ciri korporatis
perlu ditinjau ulang. Bahkan makin relevan dari waktu ke waktu, sebagai akibat
dari “penaklukan Negara terhadap (pemerintahan desa)” selama ini.
Terlebih-lebih yang terjadi pada masa Orde Baru, yang telah membalik arah akar
(baca: tanggungjawab) kepemimpinan lokal: dari semula berakar kebawah menjadi berakar
ke atas-(an)-nya…
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4 pasal 34
ayat 2, telah mengamanahkan negara untuk memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Demikian pula Undang-Undang nomor
6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan pijakan dan paradigma baru bagi dunia pemberdayaan
yang berbasis di desa. Dalam Bab I ketentuan umum Undang-Undang nomor 6 tahun
2014 tentang Desa, mendefinisikan pemberdayaan masyarakat desa sebagai upaya
mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan
pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat desa. Menurut Sutoro
Eko, Desa, atau sebutan-sebutan lain yang sangat beragam di Indonesia pada
awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas
wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat untuk
mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut self governing community.
Sebutan desa kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda.
Strategi
pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan dengan pendampingan dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan;
pengembangan kesadaran kritis dan komitmen bersama antar pelaku dan kelembagaan
tentang paradigma tata kelola pembangunan desa yang baru; mendinamisir sistem
tata kelola desa yang baru agar berjalan sesuai prinsip dan ketentuan
perundangan yang baru; mengintegrasikan
berbagai pola dan pendekatan sektoral, musyawarah desa, penataan kelembagaan,
demokratisasi; peningkatan kapasitas sistem tata kelola dan perangkat serta
pelaku (peraturan dan kapasitas individu/kelembagaan) sesuai prinsip
pemberdayaan; menghidupkan kembali dan memperkuat sosial kapital masyarakat;
mendinamisir proses demokrasi di desa; serta melakukan kaderisasi penggerak
perubahan.
Pemberdayaan
masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka
sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi
satu elemen pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat,
dengan alasan; pertama, partisipasi
masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal,
mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat. Kedua, partisipasi masyarakat juga
membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat.
Pembangunan
Partisipatif adalah pembangunan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk
masyarakat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan
pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, serta pengembangan tindak lanjut hasil
pembangunan dengan peran serta seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan desa dalam
Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
pasal 81 dilaksanakan
oleh pemerintah desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan semangat
gotong royong. Pelaksanaan pembangunan desa dilakukan dengan memanfaatkan
kearifan lokal dan sumber daya alam desa. Pembangunan lokal berskala desa
dilaksanakan sendiri oleh desa.
Pembangunan
desa dan kawasan perdesaan sebagai pengembangan wilayah berbasiskan sumberdaya
desa. Strategi pembangunan desa antara lain penataan lembaga kemasyarakatan,
pengembangan sistem pembangunan partisipatif, penataan lingkungan desa
berkelanjutan, dan pengembangan kapasitas pelaku desa. Secara pararel
pembangunan desa sangat
dimungkinkan untuk melakukan pendekatan budaya (local wisdom) sebagai kekhasan
wilayah (mataraman, tapal kuda, tengger, pendalungan dll) di Jawa Timur.
Alas pembangunan
perdesaan penting juga diletakan pada aras Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 3, yaitu;
·
Terwujudnya
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
- Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
- Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dalam konteks
pembangunan desa diatur secara khusus di pasal
48 dan pasal 49 yaitu Penataan Ruang Kawasan Perdesaan, sedangkan Undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa, yang terkait
Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan diatur di pasal
83 sampai pasal 86. Lebih lanjut juga diatur
dalam Permendagri 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa pasal 7 ayat
3 dan pasal 10. Hal tersebut semakin selaras dengan Arah kebijakan bidang Desa
dalam RPJMN 2015-2019 (Perpres 2/2015) yang berbunyi;
Arah Kebijakan:
Menguatkan desa dan masyarakat desa
serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan untuk mendorong
keterkaitan desa-kota dan perdesaan berkelanjutan, melalui :
- Pemenuhan SPM sesuai dengan kondisi geografis Desa
- Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat Desa
- Pembangunan Sumber Daya Manusia, meningkatkan Keberdayaan, dan Modal Sosial Budaya Masyarakat Desa
- Penguatan Pemerintahan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa
- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Berkelanjutan, serta Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
- Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota.
Tujuan:
Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat desa, dengan mendorong pembangunan desa-desa mandiri dan
berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan
Alur
perencanaan ruang (pola dan struktur)
meletakan kawasan perdesaan sebagai jantung dan penopang utama arah pembangunan
di tingkat wilayah, perubahan sistem perencanaan desa yang diatur dalam
Permendagri 114, masih menjadi kegagapan tersendiri bagi para pemangku
kepentingan, terutama pemerintahan desa di Jawa, kelemahan ini jauh-jauh hari
telah di tulis oleh seorang Prof.Dr.Ir Sajogyo[1] “
Pemerintah desa sebagai payung bagi seluruh- institusi pada tingkat “akar
rumput” di Jawa semakin menunjukkan kelemahan-kelemahannya pada berbagai
tuntutan pembangunan perdesaan:
1)
Kurangnya tenaga
khusus menyebabkan ketergantungan pada para petugas tingkat desa yang dikirim
oleh lembaga di atas desa;
2)
Kurangnya sarana
untuk mengumpulkan dana yang memadai dari sumber-sumber yang ada di desa itu
sendiri (termasuk dari rumahtangga yang lebih kaya). Akibatnya desa tersebut
menjadi lebih tergantung pada dana dari luar. Bahkan di desa tersebut tidak
ditemukan adanya proyek ataupun upaya untuk menyeimbangkan antara luas tanah
yang terbatas dengan jumlah tenaga yang berlimpah-limpah.
3)
Dengan desa
semakin luas (pada populasi lebih dari 3.000 dalam satu desa) pengambilan
kebijakan secara terbuka tidak bisa dijalankan; semakin “tidak ada” klien yang
bisa pergi ke “begitu banyak” patron untuk menyuarakan pendapatnya.
Administrasi desa pun menjadi lebih monopolitik.
Dikemukakan
Soetarto (2006), desa tidak pernah benar-benar pulih dalam hal rest and order (ketenangan dan
keteraturan)-nya. Pembangunan masyarakat desa telah gagal mencapai tujuannya
karena dilakukan dengan cara-cara teknokaratis dan paternalistik, oleh sebab
itu keberadaan dan peran institusi-institusi ekonomi-politik bentukan Negara
yang selalma ini sarat dengan ciri korporatis perlu ditinjau ulang. Bahkan
makin relevan dari waktu ke waktu, sebagai akibat dari “penaklukan Negara
terhadap (pemerintahan desa)” selama ini. Terlebih-lebih yang terjadi pada masa
Orde Baru, yang telah membalik arah akar (baca: tanggungjawab) kepemimpinan
lokal: dari semula berakar kebawah menjadi berakar ke atas-(an)-nya.
Harus
diakui, disamping sejumlah permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
terdapat pula sejumlah masalah lain yang turut menghambat proses
penyelenggaraan “pemerintahan desa” selama ini. Dua hal terpenting adalah, pertama bahwa kapasitas sumberdaya
manusia (Kepala Desa) relative terbatas, kedua
dalam konteks penyelenggaraan ‘pemerintahan desa’ ala ‘desa praja’ (atau
disebut nama lain), merujuk pada pengalaman masa lampau, suksesi kepala desa
ataupun ‘badan perwakilan desa’ (ataupun disebut dengan nama lain), dalam
prakteknya telah menimbulkan ‘kegaduhan politik’ tersendiri (sebagaimana
dilaporkan Sartono Kartodidjo, ed, 1992; dan Rozaki, et.al., 2004, misal).
Kunci
pokok dari hal diatas adalah meletakan perencanaan desa (RPJMDes,
APBDes,RKPDes) sebagai jantung utama dalam implementasi Undang-Undang nomor 6
tahun 2014 tentang Desa, wujud spasial
(penetapan dan penegasan batas, penyusunan tata ruang, pengelolaan informasi
desa) dan sosial (pendataan,
pembangunan sarana prasarana, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat) di dokumen
perencanaan di empat bidang (penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pemberdayaan
masyarakat) diharapkan mampu menjawab peluang dan tantangan yang akan datang.
Konsolidasi penggerak dan pembaharu desa dari berbagai elemen masyarakat sipil
juga bisa dilakukan, kemampuan dan pengalaman praktek pengorganisasian yang
selama ini tercecer bisa dibungkus guna mendapatkan pembelajaran (lesson learn)…MERDESA.
Daftar
Pustaka
Eko, Sutoro, 2008. “Masa
Lalu, Masa Kini Dan Masa Depan Otonomi Desa” Yogyakarta; IRE’S INSIGHT.
Eko, Sutoro, 2014. “Buku
Pintar; Kedudukan dan Kewenangan Desa”, Yogyakarta; Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD).
Jahja, Ranggoaini, Bambang
Herry & M.Afandi, 2014. “Buku Pintar; Sistem Administrasi dan Informasi
Desa”, Yogyakarta; Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
Murtiono, Yusuf &
Wulandari, 2014. “Buku Pintar; Perencanaan dan Penganggaran Desa”, Yogyakarta;
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
Sajogyo, 2006. Ekososiologi
Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani Dan Perdesaan Sebagai
Uji),Yogyakarta; Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Zakaria, R.Yando, 2014.
“Menata Desa, Menyembuhkan Indonesia” Mantan Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU
Desa, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Undang-Undang
nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah nomor
43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014
tentang Desa
Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi
Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten
Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 114 tentang Pedoman Pembangunan Desa
[1] Sajogyo, 2006. Ekososiologi Deideologisasi Teori,
Restrukturisasi Aksi (Petani Dan Perdesaan Sebagai Uji),Yogyakarta; Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas.