Problematika
Penerapan UU No. 6/2014 tentang Desa
Oleh:
Pudjio Santoso
Abstrak
Perjalanan
panjang upaya masyarProakat desa untuk bisa hidup mandiri dan sejahtera dalam tata
aturan adat istiadat lokal telah tercapai setidak-tidaknya melalui disahkannya
UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Akan tetapi masih banyak persoalan yang tidak
serta merta terjawab dan terakomodir dalam UU tersebut beserta perangkat
peraturan di bawahnya. Artikel ini mengupas tentang problematika yang dihadapi
oleh pemerintah Desa baik itu aspek hukum, politik, ekonomi maupun sosial
budaya.
Berbagai
keistimewaan yang diberikan oleh UU Desa kepada Pemerintah Desa harus diimbangi
oleh penyiapan kapasitas SDM yang ada serta perubahan paradigma pengelolaan
pemerintahan dari prinsip-prinsip konvensional, otoriter dan cenderung tertutup
ke prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yang mengacu pada
prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas serta kerjasama antar
institusi.
Pendahuluan
Usai sudah hiruk pikuk
politik yang terkait dengan RUU No. 6/2014 tentang desa semenjak Presiden
Susilo Bambang Yudoyono menandatangani pada tanggal 15 Januari 2014 dan menjadi
UU No. 6/2014. Perdebatan panjang selama 7 tahun dan adanya tekanan moral dari
ribuan Kepala Desa yang datang ke Senayan agar DPR segera mengesahkan RUU
tersebut.
Para Kepala Desa menyambut secara antusias hadirnya UU
tersebut, dan hanya daerah Padang Sumatera Barat yang sejak awal menolak UU
tentang Desa. Sambutan yang antusias dari para kepala desa tersebut karena UU
ini dianggap paling istimewa dibandingkan UU sebelumnya yang pernah ada. Setidaknya
ada 5 Keistimewaan yang terdapat pada UU No. 6/2014[1],
yakni: (a)adanya penghasilan tetap yang diterima Kepala Desa beserta perangkat
seperti yang tercantum pada pasal 66. Penghasilan tersebut diperoleh dari dana
perimbangan dalam APBN yang diterima setiap Kabupaten/Kota dalam APBD, (b)dana
desa dalam jumlah yang sangat besar sekurang-kurangnya 10% dana perimbangan
kabupaten/kota dalam anggaran APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK),
(c)Kewenangan Kepala Desa yang lebih luas. Jika sebelum adanya UU ini Kepala
Desa hanya menjadi “petugas” Camat dan Bupati, namun sekarang punya kekuasaan
penuh dalam mengatur dan mengalokasikan anggaran yang diterimanya untuk kemandirian
dan pembangunan desa beserta masyarakatnya. Dengan demikian kedepannya nanti
seluruh desa dan masyarakatnya semakin maju dan sejahtera, (d)masa jabatan
Kepala Desa yang bertambah, dari yang semula 6 tahun dan dapat dipilih kembali
paling banyak 2 kali, maka sekarang dengan masa jabatan yang sama tapi bisa
dipilih sebanyak 3 (tiga) kali baik berturut-turut maupun tidak. Demikian pula
untuk jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengikuti aturan yang sama
dengan Kepala Desa, (e)Fungsi BPD diperkuat. Dalam UU yang baru BPD diberi
kewenangan untuk mengawasi kinerja Kepala Desa, akan tetapi kewenangan BPD
untuk ikut menetapkan peraturan desa bersama-sama dengan Kades yang tertuang
dalam pasal di UU no. 32/2004 dihilangkan dan diganti dengan “membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa” ( pasal 55).
Namun demikian ada
beberapa Kepala Desa yang merasa was-was dengan penerapan UU no. 6/2014 tentang
Desa. Hal ini tidak lain karena banyak persoalan hukum, politik dan sosial
budaya yang ada di masyarakat desa belum sepenuhnya siap. Beberapa misalnya
terkait dengan Peraturan Pemerintah yang mendukung UU tersebut baru ada 2 (PP
No. 43/2014 dan PP No.60/2014). Sementara Peraturan pelaksana pendukung
anggaran, Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban,
pendistribusian uang, pengawasan dan mekanisme pencairan dana belum ada.
Demikian pula persoalan politik di desa yang terkait dengan pilkades dan BPD.
Dari sisi manajemen
administrasi desa juga terkendala oleh lemahnya Sumber Daya Manusia. Banyak
desa-desa yang memiliki perangkat yang tidak mempunyai kemampuan dan
pengetahuan yang memadai mengenai bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Di samping itu banyak di antara mereka yang sudah berusia lanjut bahkan di atas
60 tahun (batas usia pensiun jika mengacu pada peraturan yang sebelumnya).
Segala persoalan tersebut sesungguhnya bermuara pada dua hal, yakni rendahnya
Sumber Daya Manusia dan potensi korupsi yang terjadi akibat pengelolaan yang
salah manajemen maupun faktor kesengajaan. Artikel ini akan membahas mengenai
problematika yang terjadi dengan diberlakukannya UU no. 6 Tahun 2014, baik dari
aspek hukum, Politik, Ekonomi, maupun Sosial-Budaya
Problem
Hukum
Undang Undang No. 6/2014[2]
ini merupakan Undang Undang yang paling lengkap dalam mengatur Pemerintahan
Desa, yakni terdapat sebanyak 15 bab dan 122 pasal. Hingga akhir tahun 2014
pemerintah baru mengeluarkan dua PP, yakni no. 43/2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan no. 60/2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Di samping itu masih banyak persoalan hukum
bukan saja masih sedikitnya peraturan pelaksananya, akan tetapi juga tumpang
tindih antar pasal dalam peraturan yang ada. Misalnya pada pasal 20 dan 21
dari PP no. 60/2014, dimana pada pasal 20 dijelaskan bahwa penggunaan dana
desa mengacu RPJMDesa dan DKPDesa, sementara pasal 21 ayat 2 menjelaskan prioritas penggunaan
dana desa mengacu pada ketetapan menteri.
Kemudian juga pasal 53
ayat 1 dan 2 UU No. 6/2014 menyiratkan kewenangan Kades untuk memberhentikan
perangkatnya yang telah berusia 60 tahun lebih, atas permintaan sendiri dan
berhalangan tetap, melanggar larangan sebagai perangkat desa serta tidak lagi
memenuhi syarat sebagai perangkat desa. Namun pada ayat 3 disebutkan bahwa
penetapan pemberhentian perangkat desa oleh Kades dilakukan setelah
berkonsultasi dengan Camat sebagai perwakilan Bupati. Hal ini makin
diperjelas pada ayat 4 bahwa semua aturan pemberhentian tersebut akan diatur
dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Sementara itu Peraturan Pemerintah
yang mengatur hal itu belum ada. Kasus ini sama dengan masalah pengangkatan
Sekretaris Desa oleh Kades sebagaimana bunyi pasal 26 ayat 2 (b) bahwa Kades
memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa.
Selanjutnya pada pasal 48 jelas disebutkan bahwa sekretaris desa merupakan
salah satu bagian dari perangkat desa. Sejak tahun 2007 pemerintah
mengeluarkan aturan mengenai hak pengangkatan sekretaris desa ada pada Camat
dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di desa. Namun karena
atasan langsung bukan ada pada Kades tapi pada Camat, maka tidak jarang
sekretaris desa ini tidak fungsional di desa. Pada saat sosialisasi dan
Bintek UU No. 6/2014 untuk Kepala Desa se Jawa Timur tahun 2014 lalu[3]
keluhan kades terhadap sekdesnya selalu muncul pada setiap kelas dan
angkatan. Dengan adanya UU no. 6 ini para kades sangat senang karena bisa
memfungsikan kembali tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sekretaris desa seperti
yang pernah ada di masa yang lalu. Akan tetapi persoalan hukum, khususnya
yang terkait dengan peraturan daerah dan peraturan kabupaten mengenai
penarikan sekretaris desa ke tingkat kabupaten (SKPD) dan pemilihan dan
pengangkatan sekretaris desa oleh kepala desa belum ada. Berdasarkan
informasi yang ada, bupati Sidoarjo akan segera menarik sekretaris desa yang
telah menjadi PNS (ada beberapa desa yang memiliki sekretaris desa belum PNS)
dan menempatkannya pada seluruh SKPD yang ada termasuk di kecamatan-kecamatan[4].
Belum adanya peraturan
atau petunjuk teknis yang terkait dengan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian perangkat desa menyebabkan banyak kepala desa yang terpaksa
tidak berani memberhentikan perangkatnya yang tidak mampu bekerja sesuai
dengan tupoksi dan perangkat desa yang berusia lanjut. Pada umumnya para
kepala desa takut menghadapi tuntutan hukum (PTUN) dari perangkatnya yang
diberhentikan. Di samping itu penafsiran pasal yang terdapat dalam PP no.43
tahun 2014 mengenai penarikan tanah bengkok untuk dikelola sebagai aset desa
dan menjadi bagian dari APBDesa juga menjadi kegalauan bagi para kepala desa
yang memiliki tanah bengkok cukup luas dan di daerah subur. Sedangkan kepala
desa yang tidak memperoleh tanah bengkok atau memiliki tanah bengkok tapi
tidak subur menyikapinya dengan pasrah dan tanpa gejolak. Kegalauan dan
ketidaksetujuan para Kades yang “diambil alih” tanah bengkoknya disikapi
dengan berbagai tindakan, mulai dari demo ke Bupati, Menteri Desa hingga
rencana aksi ke Jakarta[5].
Problem Politik
Dari aspek politik, UU
desa ini menegaskan adanya kemauan pemerintah untuk memberikan otonomi dan
kemandirian yang lebih pada desa untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan
desa, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa. Peluang yang diberikan pada
desa ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan memperkuat perencanaan
pembangunan dan kinerja pemerintahan desa. Di samping itu, UU Desa ini secara
politis memperkuat kehidupan berdemokrasi di desa, misalnya melalui
musyawarah desa, pengembangan kelembagaan desa baik untuk kepentingan ekonomi
maupun sosial budaya masyarakat. Kemudian juga melalui kewenangan yang
dimilikinya kepala desa harus mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam
setiap kegiatan desa dengan semangat transparansi dan akuntabel.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa hingga saat ini pemerintah baru mengeluarkan 2 (dua) Peraturan
Pemerintah dengan harapan pada tahun 2015 ini Undang Undang Desa dapat
dilaksanakan. Akan tetapi ada pihak yang menganggap terbitnya dua PP ini
tergesa-gesa karena tidak ada pembahasan publik dan secara hukum ada beberapa
pasal yang kontradiktif seperti yang telah dijelaskan di bagian atas.
Sekalipun Undang Undang
Desa beserta Peraturan Pemerintah tersebut jelas menyebutkan pemberian
kewenangan bagi kepala desa untuk mengelola keuangan secara mandiri, namun
belum mencerminkan semangat reformatif. Misalnya dalam hal pengelolaan
keuangan, pemerintah desa---dalam hal ini kepala desa---tidak dituntut untuk
mempertanggungjawabkan secara horisontal (kepada BPD) dan pada masyarakat.
Pemerintah desa hanya mempertanggungjawabkan secara politis pada BPD dan menginformasikan
pada masyarakat tentang penggunaan keuangan. Pertanggungjawaban administratif
hanya diberikan pada Bupati (vertikal). Proses akuntabilitas yang vertikal
ini dikhawatirkan dapat menimbulkan tawar menawar ekonomis (rente atau
penyuapan/gratifikasi) maupun politis (pada saat pilihan Bupati). Bahkan
dalam kegiatan Sosialisasi dan Bintek UU No. 6/2014 yang lalu muncul
kekhawatiran dari beberapa kepala desa bahwa mereka akan dihambat dalam
proses pencairan dana desa yang diajukan bahkan mulai dari saat pembahasan di
tingkat rapat dewan di DPRD kabupaten. Sehingga pemerintah desa “harus”
mengeluarkan biaya untuk mensahkan anggaran tersebut. Demikian pula pada
tingkat kabupaten, mereka percaya pasti ada biaya yang harus dikeluarkan
untuk pencairan dana desa.
Pada tingkat politik lokal
(desa), tambahnya kesempatan kepala desa untuk bisa dipilih kembali sebanyak
3 (tiga) kali dengan masa jabatan selama 6 tahun tidak serta merta disambut
dengan gembira. Mereka lebih senang dengan memperpanjang masa jabatan selama
8 (delapan) tahun dan bisa dipilih kembali sebanyak banyak 2 (dua) kali.
Pertimbangannya adalah biaya ekonomi dan sosial yang dikeluarkan pada setiap
pilihan kepala desa (pilkades) sangat tinggi. Berdasarkan diskusi yang
dilakukan pada beberapa kepala desa di Jawa Timur beberapa waktu lalu,
rata-rata setiap calon kepala desa pada saat pilkades mengeluarkan biaya
antara 300 ribu hingga 2 milyar. Besar kecilnya biaya ini pada umumnya
tergantung pada besar kecilnya tanah bengkok yang bisa dikuasai oleh kades.
Namun ada juga mereka yang mengeluarkan biaya hingga 300 juta rupiah meskipun
tanah bengkok yang dikuasai hanya seluas 1,5 hektar lebih disebabkan
pertarungan harga diri dalam upaya untuk bisa mengalahkan kepala desa incumbent.
|
Yang tidak kalah
krusial dalam pilkades adalah konflik yang timbul di antara calon kepala desa
yang mengikuti kontestasi beserta para anggota tim suksesnya. Acapkali kondisi
permusuhan ini tidak berhenti pada saat sudah dipastikan pemenangnya dan sudah
resmi diangkat menjadi kepala desa. Ada beberapa kepala desa di Jawa Timur yang
mengatakan bahwa ia hingga 9 bulan menjabat sebagai kades ini masih dimusuhi
oleh calon kades pesaingnya, bahkan dengan anggota tim suksesnya. Beberapa
kepala desa di kepulauan Madura mengatakan bahwa setiap pilkades pasti akan
menghasilkan permusuhan yang permanen dengan para calon kepala desa. Sehingga
bisa dipastikan jika dalam setiap pilkades ada 3 (tiga) calon, maka akan ada
dua kelompok yang memusuhi kepala desa pemenang, dan jika pada periode
berikutnya kades incumbent
mencalonkan kembali dan bersaing dengan dua calon yang baru lagi maka akan ada
dua kelompok lagi yang memusuhi kades tersebut jika terpilih kembali. Hal ini
terus berlangsung hingga saat ini di desa-desa tersebut.
Kondisi permusuhan
tersebut makin permanen jika calon kades yang kalah itu masuk menjadi anggota
BPD. Acapkali ia mengganggu jalannya pemerintahan desa dengan mencari-cari
kesalaanh dari kepala desa. Bahkan tidak jarang ia memanfaatkan jasa wartawan “bodrek”
(tidak jelas surat kabarnya atau kebanyakan berupa koran online) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak
berkeliaran di desa. Menariknya lagi para wartawan dan LSM ini akan berjalan
sendiri mendatangi kepala desa manakala mereka mengendus adanya indikasi
korupsi atau kesalahan pengelolaan keuangan desa.
Jika selama ini desa
memperoleh alokasi dana desa (ADD) dengan kisaran 50 juta hingga 500 juta
rupiah per tahun, maka ketika desa memperoleh tambahan anggaran Dana Desa
antara 700 juta hingga 1,4 milyar rupiah per tahun, maka bisa dibayangkan
bagaimana tekanan politis yang dilakukan oleh BPD dan pihak luar (wartawan dan
LSM) kepada pemerintahan desa. Beberapa kepala desa yang mengikuti kegiatan
Sosialisasi dan Bintek banyak yang mengatakan bahwa daripada urusannya semakin
ribet maka para wartawan dan LSM tersebut diberi uang. Namun mereka tidak
mengatakan apakah kepala desa tersebut telah melakukan pelanggaran hukum atau
tidak. Apabila tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kepala desa,
maka seharusnya tidak perlu mengeluarkan uang buat wartawan dan LSM tersebut.
Jika diperhatikan
secara seksama pasal demi pasal, baik Undang Undang maupun Peraturan
Pemerintah, desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat dan yang ada di
bawahnya ke pemerintahan Desa tidak serta merta desa bisa leluasa untuk
merencanakan program dan pengalokasian anggaran secara mandiri, sebab dalam
penyusunan anggaran dan prioritas program, kepala desa masih diharuskan untuk
berkonsultasi pada bupati dan bupati berhak untuk melakukan pendampingan. Hal
ini berarti bahwa sesungguhnya pemerintah masih menyimpan kekhawatiran
ketidakmampuan pemerintah desa untuk mengelola dana desa yang jumlahnya sangat
besar tersebut. Atau sesungguhnya pemerintah ingin menjalankan transisi
desentralisasi kewenangan dan pengelolaan keuangan pada pemerintahan desa secara
baik, sehingga tidak ada penyimpangan-penyimpangan akibat salah prosedur dan
salah kelola keuangan.
Problem
Ekonomi
Sekalipun desa
memperoleh anggaran keuangan yang sangat besar (antara 700 juta hingga 1,4
milyar rupiah per tahun), justru menuntut tanggungjawab yang sangat besar dari
kepala desa. Dana besar yang diperoleh dari Alokasi Dana Desa dan Dana Desa
tersebut akan memperkuat sumber pendapatan APBDesa. APBDesa yang besar tersebut
merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah desa. Desa dalam hal ini
kepala desa dituntut untuk mampu melakukan tata kelola keuangan yang baik mulai
dari perencanaan, implementasi,
pengawasan hingga pertanggungjawabannya. Kompetensi tersebut harus dimiliki
oleh pemerintah desa agar terhindar dari segala penyimpangan keuangan dan tidak
terserapnya seluruh anggaran keuangan. Kompetensi tersebut bersinergi dengan
komposisi perangkat desa yang dimiliki oleh setiap desa. Perbaikan sistem
manajemen dan tata kelola pemerintahan desa merupakan syarat mutlak yang harus
dilakukan oleh desa. Untuk melaksanakan semuanya ini tentu dibutuhkan adanya
petunjuk teknis pelaksanaan khususnya berkaitan dengan pengangkatan dan
pemberhentian perangkat desa. Namun apabila petunjuk teknis pelaksanaan sudah
diterbitkan, maka kepala desa harus melakukan rekruitmen perangkat desa secara
transparan dan akuntabel, dan bukannya menciptakan nepotisme baru dengan
mengangkat orang-orang yang dekat dengan kepala desa, baik keluarga maupun
anggota tim suksesnya.
Jumlah dana yang
besar tersebut sesungguhnya memberi peluang bagi pemerintah desa untuk
meningkatkan kesejahteraan warganya melalui peningkatan potensi ekonomi desa.
Misalnya, melalui pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk
menggerakkan potensi ekonomi yang ada di desa serta pelayanan masyarakat desa.
Problem ekonomi dari
penerapan UU Desa ini adalah keragu-raguan publik akan kemampuan Kepala Desa
dalam mengelola keuangan sehingga potensi terjerat kasus korupsi semakin besar.
Ini salah satu ketakutan yang dihadapi oleh kepala desa. Ada beberapa kepala
desa di Jawa Timur yang mengatakan bahwa jumlah anggaran yang besar tersebut
justru menimbulkan pandangan yang negatif dari masyarakat desa terhadap kepala
desa.
Masalah lainnya
adalah pasal yang mengatakan kepala desa beserta perangkat desa mendapatkan
penghasilan tetap yang diambilkan dari anggaran keuangan desa. Tidak semua
kepala desa menanggapi dengan senang hal itu, karena adanya penafsiran dari
kepala desa bahwa seluruh tanah kas desa yang selama ini dikenal dengan tanah
bengkok dan dibagi-bagi kepada kepala desa beserta perangkat desa sebagai
penghasilan jabatan akan ditarik dan menjadi tanah kas desa (TKD) dan dikelola
untuk menambah penghasilan desa.
Andaikata setiap
kepala desa memperoleh 15 juta rupiah per bulan pun mereka lebih memilih
penghasilan dari mengelola tanah bengkok. Di beberapa daerah di Jawa Timur
seperti kabupaten Jember, ada kepala desa yang mendapatkan tanah bengkok seluas
50 hektar. Dari luasan tersebut sekurang kurangnya kepala desa bisa memperoleh
penghasilan sebanyak antara 500 juta hingga 750 juta rupiah per tahun. Angka
ini tentunya sangat jauh bila dibandingkan dengan penghasilan tetap 15 juta
rupiah per bulan. Oleh karena itu seyogyanya pemerintah segera mengeluarkan
peraturan yang tegas dan jelas mengenai pengelolaan tanah kas desa agar tidak
menimbulkan polemik di tingkat desa.
Problem
Sosial Budaya
Undang Undang Desa
no.6/2014 secara tegas memberi pengakuan atas nilai-nilai budaya dan adat
istiadat di tingkat lokal. Undang Undang Desa mengamanahkan pentingnya
melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang hidup di desa. Banyak
adat istiadat yang pernah hidup dan berkembang di desa dapat dihidupkan kembali
sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Misalnya, kesenian tradisional yang
dimiliki oleh suatu kelompok di desa dapat dikembangkan lagi jika memang masih
ada pendukungnya. Demikian pula dengan berbagai adat kebiasaan yang ada di desa
seperti upacara bersih desa, upacara petik laut, Nyadran, dan beberapa tradisi lainnya.
Problem yang acapkali
terjadi dan tidak sesuai dengan semangat pelestarian nilai-nilai budaya seperti
yang diamanhkan dalam UU Desa adalah tekanan kelompok tertentu di desa yang
menganggap adat istiadat dan tradisi yang dimiliki oleh desa tidak sesuai
dengan nilai-nilai keislaman (tahayul, bid’ah
dan qurofat). Meskipun jumlahnya
kecil di desa namun mereka pada umumnya sangat militan dan pantang menyerah.
Hal ini terjadi di beberapa desa di Bondowoso, dimana ada beberapa kesenian
tradisional dan upacara adat yang diminta oleh kelompok agama tertentu untuk
dihilangkan.
Problem
sosial budaya lainnya adalah masih banyak masyarakat desa yang memiliki
pendidikan rendah dan bahkan belum pernah sekolah. Rendahnya pendidikan dan
pengetahuan warga masyarakat akan menghambat partisipasi mereka dalam
pembangunan desa. Mereka cenderung apatis dengan semua program pemerintah desa
jika tidak secara langsung berhubungan dengan dirinya.
Penutup
Otonomi
atau kemandirian desa dan desentralisasi kewenangan menjadi kata kunci dalam
Undang Undang No. 6/2014. Akan tetapi sebagai sebuah produk hukum yang baru,
Undang Undang Desa ini masih perlu disempurnakan melalui perbaikan bunyi
pasal-pasal yang kontradiktif dan penuh penafsiran yang beragam, maupun
diterbitkannya peraturan pemerintah lainnya yang mendukung Undang Undang Desa
itu sendiri, termasuk peraturan teknis pelaksanaan baik di tingkat pusat maupun
kabupaten. Di samping itu perlunya peningkatan kapasitas desa, baik berupa
peningkatan kepekaan terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, kapasitas
mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan atau mendistribusikan aset desa
untuk memenuhi kepentingan masyarakat, maupun penguatan kapasitas desa dalam
mengidentifikasi dan merumuskan pengaturan kehidupan desa beserta seluruh aset
yang ada melalui peraturan desa yang bersandar pada kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Peningkatan kapasitas desa sangat penting agar kepala desa dapat
bersinergi dengan amanah Undang Undang Desa.
Diharapkan ke depan pemerintah desa mampu mengakomodir secara jelas
kepentingan masyarakat. Di samping itu pemerintah desa juga mampu untuk
mengelola aset desa baik berupa fisik (gedung, pasar desa, irigasi dan lain
sebagainya), aset sosial (modal sosial), aset ekonomi dan keuangan berupa tanah
kas desa, BUMDesa, dan bantuan keuangan maupun aset politik berupa forum
musyawarah warga, BPD dan peraturan desa. Dengan demikian setiap warga desa
nantinya berhak untuk mengetahui setiap perencanaan tata ruang desa dan berhak
pula memperoleh ganti rugi atau kompensasi atas lahan dan atau bangunan
miliknya yang terkena program pembangunan desa. Dengan demikian pemerintah desa
bukan saja bertindak adil pada warganya, tetapi juga mampu mempertimbangkan
dampak lingkungan dari setiap program pembangunan fisik yang dilakukan di desa.
Menurut Sutoro Eko dkk. (2014) ada
beberapa tantangan yang dihadapi desa yang terkait dengan kapasitas
pemerintahan desa, yakni: lemahnya konsolidasi internal pemerintah desa,
lemahnya responsibilitas dan kompetensi personil perangkat desa, masih kuat dan
dominasinya kepemimpinan kepala desa, tradisi administrasi modern yang masih
minim, kurangnya kemampuan dalam mengelola keuangan desa, kurangnya kemampuan
dalam menggali potensi desa, lemahnya responsifitas pemerintah desa terhadap
kebutuhan masyarakat, kurangnya kemampuan merumuskan peraturan desa, kurangnya
kemampuan melakukan inovasi terhadap pemerintah, pelayanan dan pembangunan
desa, dan lemahnya partisipasi masyarakat desa. Untuk itulah perlunya
pengembangan kapasitas (capacity building)
bagi pemerintahan desa, antara lain: pengembangan sumber daya manusia, penguatan
organisasi dan manajemen, penyediaan sumber daya, sarana dan prasarana, network
(pengembangan jaringan atau kerjasama), lingkungan, dan mandat, kemampuan
fiskal, dan program.
Melalui peningkatan kapasitas pemerintah
desa serta perbaikan peraturan pemerintah dan penerbitan petunjuk teknis
pelaksanaan Undang Undang Desa, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran
penyalahgunaan dan kesalahan administrasi pengelolaan keuangan desa yang pada
akhirnya menyeret kepala desa pada kasus hukum.
Daftar
Pustaka
Eko, Sutoro.,
dkk. 2014. “Desa Membangun Indonesia”. Yogyakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa bekerjasama dengan Australian Community Development and Civil
Society Streghtening Scheme (ACCESS) Tahap II.
Karton. 2014. “Keistimewaan Undang-Undang Desa Terbaru No. 6 Th.
2014”.
http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desa-terbaru.html.
Kolopaking, Lola
M. 2011. “Peningkatan Kapasitas Dan Penguatan Kelembagaan Otonomi Desa”, dalam
buku Menuju Desa 2030 yang diedit oleh Arif Satria, dkk. Yogyakarta: hal.
133-145.
NN. 2014. “Desa:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014”. Bandung: Nuansa Aulia.
NN. “Pemkab
Sidoarjo Tarik Sekdes PNS Jadi Pegawai SKPD”. berita jatim online: http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/223473/pemkab_sidoarjo_tarik__sekdes_pns_jadi__pegawai_skpd.html#.VTTv0ZOXrF4.
NN, “Kades Tolak
Susun APBDes Baru”, Surabaya Pgi: http://rss.surabayapagi.com/index.php?read=AKD-Tolak-Susun-APBDes-Baru;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829626deddc291ce4dfe7b1611bf5d2fdc1d9.
[1] Tulisan
Master Karton juga mengulas tentang
keistimewaan UU No. 6 tahun 2014, “Keistimewaan Undang-Undang Desa Terbaru
No. 6 Th. 2014”. http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desa-terbaru.html.
[2]
Lihat “Desa: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014”. Bandung:
Nuansa Aulia, 2014.
[3]
Sosialisasi dan Bintek UU no.6 tahun 2014 tentang Desa bagi para Camat dan
Kepala Desa se Jawa Timur pada bulan September hingga November 2014.
[4]
NN. “Pemkab Sidoarjo Tarik Sekdes PNS Jadi Pegawai SKPD”. berita jatim online: http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/223473/pemkab_sidoarjo_tarik__sekdes_pns_jadi__pegawai_skpd.html#.VTTv0ZOXrF4.
[5]
Asosiasi Kepala Desa (AKD) Magetan Jawa Timur menolak menyusun APB Desa
berdasarkan UU no.6 2014, khususnya yang menyangkut penghasilan tetap (Siltap)
Kades dan perangkat. Lihat: NN, “Kades Tolak Susun APBDes Baru”, Surabaya Pgi: http://rss.surabayapagi.com/index.php?read=AKD-Tolak-Susun-APBDes-Baru;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829626deddc291ce4dfe7b1611bf5d2fdc1d9.